BUDAYA tiru-miniru sepertinya telah menjadi tren hidup masa kini. tidak sedikit orang yang tidak percaya diri dengan identitas mereka sendiri. Padahal ada pepatah mengatakan, “Menjadi kepala ikan teri itu jauh lebih baik, ketimbang menjadi ekor ikan hiu.” Sebesar apa pun ikan hiu, manakala kita harus menjadi ekor, berarti kita harus mem’beo’ akan apa saja yang dilakukan oleh si-ikan hiu tersebut.
Sebaliknya, ketika kita menjadi kepala ikan teri, maka kita lah yang akan menentuka arah perjalanan hidup kita sendiri. Kita akan memilih dan memilah jalan hidup tanpa harus dihantui perasaan minder atau sebagainya terhadap apa yang datang dari luar. Sayangnya pesona besarnya ikan hiu, ternyata lebih menggiurkan sebagian masyarakat nigeri ini. Akibatnya, mereka selalu meniru apa saja yang datang dari luar diri mereka, tanpa harus berfikir panjang untuk menyaring terlebih dahulu, antara yang pantas ditiru dan yang ditinggalkan atau antara perkara primer dan skunder. Budaya meniru buta, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Taqlidu Al-‘Amaa’, sejatinya sangat berbahaya bagi kita. Apa lagi kalau hal tersebut menyentuh wilayah keimanan. Bukan hanya di dunia kita merugi, namun di akhirat kita pun mendapatkan hal serupa.
Anak-anak remaja kita malu jika tidak memiki pacar.
Dia resah dengan gelar “jomblo”. Seolah-olah sebutan itu adalah aib dan mencemarkan nama baik keluarga. Padahal, identitas-identitas itu hanya tiruan dan turunan dari budaya pop Barat untuk menanamkan gaya hidup bebas. Selanjutnya, sudah tentu mereka yang mengalami hal ini tidak akan merasakan kesenangan, ketenangan, kenyamanan, kebebasan sejati, sebab kepuasan yang mereka rasakan hanya bersumber dari hawa nafsu yang menguasai mereka.
Padahal, kepuasaan sejati itu ada di hati. Kita mengaku Muslim, tetapi tidak tahu sumber-sumber ilmu pengetahuan asli dari kandungan al-Quran. Kita bangga berbahasa Inggris, tetapi membaca Kitab Suci saja hanya terjemahan. Islam tidak pernah melarang penganutnya untuk bersikap anti-pati terhadap perubahan zaman. Namun untuk keselamatan, kita perlu melakukan proses adapsi yang artinya berusaha memilih dan memilah antara yang sesuai dengan syari’at dan yang menyalahinya. Yang sejalan boleh kita ambil. Namun terhadap yang menyeleweng, kita harus berani mengatakan “NO’. Sekali pun hal tersebut sangat menarik perhatian.
Demikian pula yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dalam mengkaji penemuan-peenemuan ilmuan Yunani kuno. Sehingga mereka tidak pernah tersesat dikarena mendalami/menyelami peradaban Barat tersebut. Istilahnya, para ulama belajar ilmu Barat, namun mereka tak harus menjadi Barat atau kebarat-baratan. Khususnya bagi kaum muslimin, cukup lah kita bangga dengan Islam, sebab Islam sendiri telah menduduki posisi kemuliaan. jangan pernah kita silau dengan apa yang datang dari luar, karena baik bagi orang lain, belum tentu bagi kita, lebih-lebih ditinjau dari sisi syari’atnya.
Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami, bagian dari keluarga Muhammad saw.” Dengan kata lain, saatnya kita semua berkata, “Isyhadu bi ana muslimun.”(saksikanlah, aku adalah seorang muslim).
Di antara cara syukur kita sebagai seorang Muslim adalah menunjukkan identitas kemusliman kita, nilai-nilai kita dan gaya hidup kita yang berbeda dengan gaya hidup yang lain.*
(Khairul Hibri, anggota Asosiasi Penulis Islam (API) Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar