APAKAH HATI KITA TERKUNCI???

“Istafti qalbaka!” (minta pendapatlah pada hati nuranimu!).Demikian sabda Nabi seraya menasihati bahwa “Kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati tenang, dan keburukan itu sesuatu yang mem buat jiwa gelisah dan hati bimbang.” (HR Ahmad dan al-Dari mi). Artinya, hati nurani itu selalu bersuara emas pada kebaikan, sebaliknya antidusta dan keburukan.

Hati tidak pernah menipu diri, apalagi menipu orang lain. Hati yang fitri, yang bersih dari anasir-anasir kepentingan materi, nafsu, dan godaan inderawi. Hati yang selalu membimbing kata sejalan tindakan, sumpah, dan kenyataan. Hati yang takut berdusta di hadapan siapa pun karena yakin betul Tuhan Mahamengawasi. Hati yang tidak memproduksi kata-kata indah yang jauh panggang dari api. Itulah hati yang bersih, al-qalb al-salim.

Namun, mana bisa bertanya pada hati manakala setiap asupan dalam dirinya setiap hari adalah barang serbabatil. Akibatnya, suara hati makin lama kian lirih, sunyi, dan mati. Lalu, yang menguasai diri dan bersuara lantang ialah nafsu.

Imam Al-Ghazali bermutiara hikmah: “Tubuh itu laksana kerajaan. Tangan, kaki, dan segenap anggota tubuh laksana pe kerja ahli. Syahwat itu bagaikan pemungut pajak. Amarah ibarat polisi. Hati nurani adalah raja yang menguasai singgasana. Akal itu perdana menterinya. Syahwat senantiasa menarik segala sesuatu pada kepentingan dirinya. Sedangkan, amarah berwatak keras dan kasar, yang suka menghukum dan menghancurkan.

Hati sang raja itu harus mengendalikan syahwat, amarah, juga mengendalikan akal. Hati harus menjafakeseimbangan semua kekuatan yang dimiliki manusia itu.” Sayangnya, tidak banyak anak cucu Adam yang tercerahkan hati nuraninya karena singgasana hidupnya telanjur dihegemoni oleh rezim nafsu serbaduniawi. Itulah hati yang terkunci.

Sungguh tepat orang menasehatkan, agar kita membiasakan mendidik atau melatih keinginan yang dinamakan tarbiyatul-iradah agar hati kita selalu searah dan sejalan.

Tidak ada pekerjaan yang membosankan bila pekerjaan itu di sertai dengan hati,dan sebaliknya pekerjaan yang mudah dan ringan bila tidak di sertai dengan hati akan terasa berat dan membosankan serta meletihakan.

Orang yang berjiwa “am-maratun bissu”, yang buta hati nuraninya, dapat melakukan kejahatan dan pelanggaran dengan senang hati, dia bermusuh dengan aturan dan syari’at agama, dia berpenyakit alergi nasehat dan tabligh.

Orang yang berjiwa “musawwalah”, hati nuraninya baru dapat bersinar bila di bantu dengan lingkungan, gerak tindaknya, sikap dan pendiriannya berubah-ubah, tergantung kepada pengaruh lingkungan, dia seperti benda mati bukan bergerak tapi di gerakkan.

Orang yang berjiwa “lawwamah”, selalu berperang dengan nafsunya, selalu merelakan hatinya untuk menerima kebenaran, dan melakukan kebaikan, dan dia selalu ada dalam kemenangan walupun dengan susah payah.

Orang yang berjiwa “muthmainnah” hidup berbahagia, hati nuraninya selalu membantu, otaknya bergerak berlandaskan hati nurani, tidak bermusuh dengan kalbu tidak menjadi lawan bagi hati nuraninya.