HUKUM KOMPAS DAN PERSELISIHAN ARAH KIBLAT

HUKUM KOMPAS DAN PERSELISIHAN ARAH KIBLAT
Tanya: Bismillah. Ustadz, bolehkah menggunakan kompas khusus untuk menentukan arah kiblat agar terhindar dari salah arah? Barakallahu fiik.
Jawab:
Boleh menggunakan kompas untuk menentukan arah kiblat, karena tidak diragukan lagi bahwa menghadap tepat ke arah kiblat itu yang lebih utama. Hanya saja para ulama menyebutkan bahwa barangsiapa yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia diperbolehkan untuk hanya menghadap ke arah ka’bah (dalam hal ini barat bagi Indonesia). Kalau demikian keadaannya penggunaan kompas ini diperbolehkan akan tetapi tidak diwajibkan.
Adapun jika sebuah masjid sudah dibangun dengan menghadap ke arah barat, lantas ketika diukur dengan kompas ternyata menyimpang beberapa derajat dari arah tepat ka’bah. Apakah kiblat masjidnya harus dirubah ataukah dibiarkan seperti itu? Maka silakan simak jawaban dari pertanyaan berikut:
Tanya: Ada sesuatu yang masih meragukan ana dan teman-teman di kantor. Selama ini tempat shalat di kantor itu kiblatnya menghadap ke barat atau seperti umumnya kiblatnya masjid-masjid di sekitar kantor. Namun, kemarin ada seorang bos yang mempermasalahkan arah itu karena menurutnya kurang tepat arahnya, dia pun menggunakan kompas untuk menentukan arah kiblat. Walhasil, arah kiblat diubah menjadi serong ke kanan dengan sudut 30 derajat, setelah menggunakan hitung-hitungan matematis sudut derajat. Ada sedikit kericuhan, sebagian tidak mau shalat di situ lagi, sebagian masih shalat di situ tetapi menghadap ke arah kiblat (yang lama). Bagaimana seharusnya kami menyikapi hal ini ustadz? Apakah kami harus mengikuti arah yang dibuat bos itu berdasarkan kompas atau kami shalat seperti biasa dengan arah kiblat yang semula? Bukankah kita tidak diwajibkan menggunakan kompas atau alat-alat canggih untuk menentukan arah kiblat? Atas jawabannya kami ucapkan jazakallahu khairan katsiro.
Jawab:
Para ulama menyebutkan bahwa orang yang menghadap ke kiblat tidak lepas dari dua keadaan:
1. Orang yang melihat Ka’bah secara langsung, maka diwajibkan atas orang ini untuk mengarah tepat ke arah ka’bah, tidak boleh melenceng darinya walaupun sedikit. Ini adalah hal yang disepakati oleh kaum muslimin.
2. Adapun jika dia tidak melihat ka’bah secara langsung, maka dia diperbolehkan untuk hanya menghadap ke arah di mana ka’bah berada, walaupun tidak tepat mengarah ke ka’bah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallah ‘alaihi wasallam:
“Apa yang ada di antara timur dan barat adalah kiblat.” (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Ini bagi yang kiblatnya di utara atau selatan. Adapun bagi yang kiblatnya di timur atau barat (seperti Indonesia), maka semua arah antara utara dan selatan adalah kiblat. Lihat Ar-Raudhah An-Nadiah (1/258-259).
Maka berdasarkan keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa permasalahan yang disebutkan oleh penanya bukanlah masalah yang perlu untuk dibesar-besarkan apalagi sampai melahirkan perpecahan, akan tetapi hendaknya kedua belah pihak bisa lapang dada menerima perbedaan. Karena barangsiapa yang mengikuti bosnya karena ingin tepat menghadap ke ka’bah maka itu tidak mengapa -walaupun telah kita terangkan bahwa itu tidak wajib-, dan siapa yang sekedar menghadap ke arah ka’bah (barat) juga tidak mengapa berdasarkan hadits di atas.
Walaupun sepantasnya salah satu dari kedua belah pihak hendaknya ada yang mengalah agar jamaah shalat di tempat tersebut bisa bersatu. Apalagi para ulama mengharamkan pembentukan jamaah kedua jika pendorongnya adalah hawa nafsu dan fanatisme golongan, wallahu a’lam.
[Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits - Dewan PembinaKonsultasiSyariah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar