Rasulullah Mencium Tangannya…
Jika Anda mencium tangan seorang ulama, tentu saja karena sang alim memang memiliki kemuliaan dan layak memperoleh penghormatan seperti itu. Biasanya tangan yang dicium lebih mulia ketimbang yang mencium. Jika semua itu benar, bagaimana jika orang yang paling mulia di dunia dan akhirat, yaitu Muhammad Rasulullah Saw yang mencium tangan seseorang? Apakah orang yang tangannya dicium itu lebih mulia ketimbang Rasulullah Saw?
Siapa orang beruntung yang dicium tangannya oleh Sang Rasul?
Tidak selalu orang yang tangannya dicium lebih mulia dari yang mencium. Apa maksud dan tujuan Rasulullah Saw mencium tangan seseorang?
Ketika Rasulullah Saw mencium tangan seorang pekerja (buruh), Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada masyarakat masa itu – yang masih materialistik dan feodalistik – agar mereka menghargai kerja keras orang lain.
Mereka harus memuliakan keringat para buruh, para petani, para nelayan, dan orang-orang kecil yang sudah bekerja keras membanting tulang demi penghidupan mereka. Manusia harus saling menghormati, mesti saling menghargai semua kerja keras yang dilakukan siapa pun.
Manusia mesti menilai setiap tetes keringat seseorang tidak hanya dari sisi materi belaka, tapi juga mesti menilainya dari besarnya usaha dan perjuangannya. Bukankah mencari penghidupan itu juga sebuah jihad? Sebuah perjuangan yang juga memiliki nilai-nilai spiritual?
Ketika suatu masyarakat atau suatu pemerintahan tidak lagi menghargai kaum pekerja, maka akan terjadi suatu “kezaliman”, suatu ketidakseimbangan, suatu tanda-tanda kehancuran yang mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang, tetapi mata moral maupun spiritual mampu melihat “ketimpangan” dan “lubang besar” yang akan menghisap seluruh “kestabilan” tatanan masyarakat yang ada.
Sikap orang-orang besar yang meremehkan orang-orang kecil sama saja dengan sikap meremehkan “sebuah batu bata kecil” yang diletakkan di dalam susunan terbawah sebuah menara yang tinggi dan besar. Tapi dapatkah kita sadari bahwa jika “batu bata kecil” ini kita copot maka kestabilan tatanan menara yang besar dan tinggi ini menjadi goyah?
Di masa kekhalifahan Imam Ali (as), suatu ketika Imam Ali (as) berjalan bersama salah seorang sahabatnya dan beliau melihat seorang tua yang sedang mengemis. Imam Ali (as) bertanya kepada sahabatnya, “Mengapa lelaki tua ini mengemis?”
Sahabatnya menjawab, “Lelaki ini seorang Nasrani.”
Imam Ali as marah seraya menukas, “Bukankah ketika lelaki ini masih muda kalian mempekerjakannya dan mengambil pajak (jizyah) darinya, tapi mengapa ketika ia sudah tua kalian melepaskannya begitu saja?!” Setelah berkata begitu Imam Ali (as) memerintahkan agar lelaki tua itu diberi tunjangan hari tua dari Baitul Mal. [1]
Siapa Lagi Tangan Mulia Yang Dicium Sang Nabi?
Ada satu tangan mulia lagi yang kerap dicium oleh Sang Baginda Rasul Saw. Tangan mulia itu tidak lain adalah milik tangan putri tercinta Nabi sendiri, Sayyidah Fatimah Az-Zahra (as). Mengapa Rasulullah Saw mencium tangan kecil yang mulia ini? Prilaku Rasulullah Saw ini membuka mata orang-orang penting, para politisi dan mayoritas Muslim pada masa itu.
Ketika sebagian masyarakat Arab masih merendahkan kaum perempuan pada masa itu, Rasulullah Saw justru melakukan tindakan revolusioner dengan mencium tangan anak perempuannya. Ketika kaum perempuan sedemikian mendewa-dewakan kaum lelaki. Ketika kaum lelaki menginjak-injak harkat kaum perempuan. Ketika masih bercokol di kepala kaum bangsawan Arab saat itu bahwa anak-anak perempuan hanya membawa sial bagi mereka, Rasulullah Saw justru menghormati anak perempuannya.
Luar biasa!
Ketika Rasulullah Saw mencium tangan putri tercintanya, Fatimah Az-Zahra (as), Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada masyarakat Arab dan umat manusia seluruhnya bahwa perempuan mesti dihormati, mesti dihargai dan mesti dicintai!
Bukan dihina, bukan diinjak-injak apalagi disingkirkan. Sejarah masih menyimpan catatan bagaimana bapak-bapak kaum Quraisy pada masa lalu merasa terhina jika mendapatkan anak perempuan. Mereka bahkan – saking malunya – rela membunuh dan menanam hidup-hidup putri-putri mereka yang masih merah di tengah-tengah padang pasir.
Salah seorang sahabat Nabi terkemuka juga mengakui pernah melakukan perbuatan keji seperti itu. Poin lainnya yang mesti dicermati adalah bahwa Nabi Saw tidak melakukan hal ini hanya karena alasan di atas. Poin terpenting lainnya adalah Nabi Saw ingin memberitahu kepada umat Islam pada masa itu dan di masa-masa yang akan datang bahwa putrinya adalah orang yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik wanita di Surga adalah Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun” (Bihar al-Anwar 13 : 162, Jalaluddin Suyuthi juga meriwayatkan di dalam kitabnya, Musnad Fatimah Az-Zahra, hlm 111)
Aisyah sendiri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada putrinya Fatimah, “Wahai Fatimah, apakah engkau rela menjadi pemimpin kaum perempuan di dunia dan akhirat.” (H.R Al-Hakim)
Tidak hanya itu! Ketika Rasulullah Saw mencium tangan putrinya di hadapan umat Islam saat itu, Nabi Saw juga mengisyaratkan kepada mereka, “Inilah putriku, yang darinyalah lahir keturunanku yang mereka itu adalah para Imam Ahlul Bait, para pemimpin sejati kalian!”
Laa hawla wa laa quwwata illa billah!
Catatan kaki:
1. Ma’alim al-Hukumah hlm. 522
Jika Anda mencium tangan seorang ulama, tentu saja karena sang alim memang memiliki kemuliaan dan layak memperoleh penghormatan seperti itu. Biasanya tangan yang dicium lebih mulia ketimbang yang mencium. Jika semua itu benar, bagaimana jika orang yang paling mulia di dunia dan akhirat, yaitu Muhammad Rasulullah Saw yang mencium tangan seseorang? Apakah orang yang tangannya dicium itu lebih mulia ketimbang Rasulullah Saw?
Siapa orang beruntung yang dicium tangannya oleh Sang Rasul?
Tidak selalu orang yang tangannya dicium lebih mulia dari yang mencium. Apa maksud dan tujuan Rasulullah Saw mencium tangan seseorang?
Ketika Rasulullah Saw mencium tangan seorang pekerja (buruh), Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada masyarakat masa itu – yang masih materialistik dan feodalistik – agar mereka menghargai kerja keras orang lain.
Mereka harus memuliakan keringat para buruh, para petani, para nelayan, dan orang-orang kecil yang sudah bekerja keras membanting tulang demi penghidupan mereka. Manusia harus saling menghormati, mesti saling menghargai semua kerja keras yang dilakukan siapa pun.
Manusia mesti menilai setiap tetes keringat seseorang tidak hanya dari sisi materi belaka, tapi juga mesti menilainya dari besarnya usaha dan perjuangannya. Bukankah mencari penghidupan itu juga sebuah jihad? Sebuah perjuangan yang juga memiliki nilai-nilai spiritual?
Ketika suatu masyarakat atau suatu pemerintahan tidak lagi menghargai kaum pekerja, maka akan terjadi suatu “kezaliman”, suatu ketidakseimbangan, suatu tanda-tanda kehancuran yang mungkin tidak terlihat oleh mata telanjang, tetapi mata moral maupun spiritual mampu melihat “ketimpangan” dan “lubang besar” yang akan menghisap seluruh “kestabilan” tatanan masyarakat yang ada.
Sikap orang-orang besar yang meremehkan orang-orang kecil sama saja dengan sikap meremehkan “sebuah batu bata kecil” yang diletakkan di dalam susunan terbawah sebuah menara yang tinggi dan besar. Tapi dapatkah kita sadari bahwa jika “batu bata kecil” ini kita copot maka kestabilan tatanan menara yang besar dan tinggi ini menjadi goyah?
Di masa kekhalifahan Imam Ali (as), suatu ketika Imam Ali (as) berjalan bersama salah seorang sahabatnya dan beliau melihat seorang tua yang sedang mengemis. Imam Ali (as) bertanya kepada sahabatnya, “Mengapa lelaki tua ini mengemis?”
Sahabatnya menjawab, “Lelaki ini seorang Nasrani.”
Imam Ali as marah seraya menukas, “Bukankah ketika lelaki ini masih muda kalian mempekerjakannya dan mengambil pajak (jizyah) darinya, tapi mengapa ketika ia sudah tua kalian melepaskannya begitu saja?!” Setelah berkata begitu Imam Ali (as) memerintahkan agar lelaki tua itu diberi tunjangan hari tua dari Baitul Mal. [1]
Siapa Lagi Tangan Mulia Yang Dicium Sang Nabi?
Ada satu tangan mulia lagi yang kerap dicium oleh Sang Baginda Rasul Saw. Tangan mulia itu tidak lain adalah milik tangan putri tercinta Nabi sendiri, Sayyidah Fatimah Az-Zahra (as). Mengapa Rasulullah Saw mencium tangan kecil yang mulia ini? Prilaku Rasulullah Saw ini membuka mata orang-orang penting, para politisi dan mayoritas Muslim pada masa itu.
Ketika sebagian masyarakat Arab masih merendahkan kaum perempuan pada masa itu, Rasulullah Saw justru melakukan tindakan revolusioner dengan mencium tangan anak perempuannya. Ketika kaum perempuan sedemikian mendewa-dewakan kaum lelaki. Ketika kaum lelaki menginjak-injak harkat kaum perempuan. Ketika masih bercokol di kepala kaum bangsawan Arab saat itu bahwa anak-anak perempuan hanya membawa sial bagi mereka, Rasulullah Saw justru menghormati anak perempuannya.
Luar biasa!
Ketika Rasulullah Saw mencium tangan putri tercintanya, Fatimah Az-Zahra (as), Rasulullah Saw ingin mengajarkan kepada masyarakat Arab dan umat manusia seluruhnya bahwa perempuan mesti dihormati, mesti dihargai dan mesti dicintai!
Bukan dihina, bukan diinjak-injak apalagi disingkirkan. Sejarah masih menyimpan catatan bagaimana bapak-bapak kaum Quraisy pada masa lalu merasa terhina jika mendapatkan anak perempuan. Mereka bahkan – saking malunya – rela membunuh dan menanam hidup-hidup putri-putri mereka yang masih merah di tengah-tengah padang pasir.
Salah seorang sahabat Nabi terkemuka juga mengakui pernah melakukan perbuatan keji seperti itu. Poin lainnya yang mesti dicermati adalah bahwa Nabi Saw tidak melakukan hal ini hanya karena alasan di atas. Poin terpenting lainnya adalah Nabi Saw ingin memberitahu kepada umat Islam pada masa itu dan di masa-masa yang akan datang bahwa putrinya adalah orang yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik wanita di Surga adalah Maryam binti ‘Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun” (Bihar al-Anwar 13 : 162, Jalaluddin Suyuthi juga meriwayatkan di dalam kitabnya, Musnad Fatimah Az-Zahra, hlm 111)
Aisyah sendiri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada putrinya Fatimah, “Wahai Fatimah, apakah engkau rela menjadi pemimpin kaum perempuan di dunia dan akhirat.” (H.R Al-Hakim)
Tidak hanya itu! Ketika Rasulullah Saw mencium tangan putrinya di hadapan umat Islam saat itu, Nabi Saw juga mengisyaratkan kepada mereka, “Inilah putriku, yang darinyalah lahir keturunanku yang mereka itu adalah para Imam Ahlul Bait, para pemimpin sejati kalian!”
Laa hawla wa laa quwwata illa billah!
Catatan kaki:
1. Ma’alim al-Hukumah hlm. 522
Tidak ada komentar:
Posting Komentar