Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA dan Dakwah Pasca Nikah
#1 – Kematangan yang Mempesona
Khadijah dan Aisyah, Kedua perempuan terhormat itu bergantian mengisi
kehidupan Rasulullah pada dua fase kenabian yang berbeda. Tapi cinta
Rasulullah pada keduanya berbeda. Jika Rasulullah SAW ditanya siapa
istri yang paling dicintainya, Rasul menjawab, ”Aisyah”. Tapi ketika
ditanya tentang cintanya pada Khadijah, beliau menjawab, “cinta itu
Allah karuniakan kepadaku”. Cinta Rasulullah pada keduanya berbeda, tapi
keduanya lahir dari satu yang sama: pesona kematangan.
Itulah pesona kematangan. Pernikahan dan rumah tangga yang memesona
merupakan perpaduan dari dua atau lebih kepribadian yang juga memesona.
Dan pesona itu sejati, bukan dari katampanan, kecantikan, atau kekayaan
semata, tetapi dari kematangan kepribadian. Kepribadian yang matang itu
kuat tapi meneduhkan. Di sinilah seseorang dapat mengatakan, “rumahku
surgaku”. Ketika sedang berada di dalamnya, ia menjadi sumber energi
untuk berkarya di luar. Ketika berada di luarnya, selalu ada kerinduan
untuk kembali.
#2 – Cinta yang Menumbuhkan
Aisyah bukan hanya seorang istri Rasul, tapi juga merupakan bintang di
langit sejarah. Salah satu credit point terbesarnya adalah banyaknya
jumlah hadits yang beliau hafal dari Rasulullah dan kepahamannya tentang
fiqih sehingga menjadi rujukan utama bagi sahabat Rasul yang lain. Itu
hanya salah satunya disamping luasnya lautan kepribadian beliau sebagai
Ummul Mukminin yang menjadi rujukan kepribadian muslimah.
Aisyah merupakan buah karya sang suami: Nabi Muhammad SAW. Inilah
tantangan para suami yang mencintai istrinya dengan sejati, menumbuhkan
istri yang dicintainya sehingga menjadi lebih baik secara
berkesinambungan.
Pekerjaan menumbuhkan ini sulit karena menuntut pemahaman yang baik
tentang kebutuhan orang yang akan dikembangkan. Dan seringkali orang
tersebut tidak menyadari apa yang dia butuhkan. Seorang istri, misalnya
menginginkan lebih banyak perhiasan, belum tentu apa dia minta adalah
apa yang sebenarnya dia butuhkan. Usaha menumbuhkan tanpa memahami
biasanya hanya akan melahirkan pemaksaan kehendak. Tentunya bukan ini
cara yang bijaksana. Cara yang bijak adalah dengan menginspirasi.
Suatu ketika, tuntutan istri-istrinya adalah untuk mendapatkan lebih
banyak perhiasan dunia. Tapi mungkin kebutuhan akan pemaknaan lebih
dalam terhadap misi besar kerasulan (dimana mereka merupakan bagian dari
“tim” kehidupan Rasul) lebih mereka butuhkan. Maka dengarlah
jawabannya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu
sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah
supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang
baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan
Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya
Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang
besar.” (QS Al-Ahzab 28-29)
Dalam perspektif yang lain, hanya dengan cara menumbuhkan secara
berkesinambunganlah hubungan percintaan itu bisa bertahan. Akan sulit
mempertahankan hubungan tersebut jika orang-orang di dalamnya stagnan.
Tidak berkembang dari hari ke hari. Karena jiwa ini bisa bosan.
#3 – Romantika yang Merawat Jiwa
Banyak kisah-kisah romantis yang menghiasi kehidupan Nabi Muhammad dan
istrinya, Aisyah. Rasul pernah berlomba lari dengan Aisyah. Rasul pernah
bermanja diri kepada Aisyah. Rasul memanggil Aisyah dengan panggilan
kesayangan ‘Humaira’. Rasul pernah disisirkan rambutnya, dan masih
banyak lagi kisah serupa tentang romantika suami-istri.
Kenapa kisah-kisah itu ada? Karena jiwa butuh perawatan, dan begitulah
caranya ia dirawat. Kemesraan, senyuman yang tulus, pujian, hadiah,
ucapan selamat, perhatian, semuanya merupakan alat untuk merawat jiwa.
Itulah yang akan menjadi pelumas bagi mesin rumah tangga sehingga dapat
tetap kuat menempuh perjalanannya yang lebih jauh, menyelesaikan misi
besarnya, misi peradaban.
#4 – Misi yang Lebih Besar
Istri-istri nabi masuk ke dalam kehidupan Rasul untuk mengisi suatu
peran yang harus dijalankannya. Mereka menjadi bagian dari ‘tim’ yang
menjalankan misi kerasulan. Nampaknya pengisi peran-peran utama tersebut
adalah Khadijah dan Aisyah. Khadijah hadir selama 25 tahun mendukung
Rasulullah dalam membangun basis sosial Islam di Mekkah yang berat. Lalu
Aisyah yang selama 10 tahun mendampingi dalam misi pembangunan
konstitusi Negara Madinah yang rumit. Dan istri-istri beliau yang
lainnya ikut mengisi peran-peran lainnya di sekitar kedua poros itu.
Keluarga Rasul merupakan keluarga dengan misi yang berat dan besar: misi
kerasulan. Karena tim tersebut ditugaskan menangani masalah besar, maka
masalah-masalah kecil seharusnya tidak boleh mengganggu kinerja mereka.
Karena kaidahnya sederhana: siapa yang tidak disibukkan dengan perkara
besar, maka akan disibukkan dengan perkara kecil, begitu sebaliknya.
Banyak kisah dalam rumah tangga Rasul yang menjelaskan hal ini.
Pernah suatu ketika istri-istri beliau menuntut tambahan perhiasan
dunia. Ini bukan sesuatu yang salah. Tetapi kemudian Rasulullah
mendiamkan mereka selama satu bulan. Karena tim ini harus sudah berada
“di atas” masalah kecil seperti itu. Masalah seperti itu sudah “tidak
level” untuk diributkan.
Cerita yang lain adalah ketika Rasul sedang berada di tempat Aisyah. Di
sana juga sedang ada Saudah, istri Rasul yang lain. Aisyah memberika kue
yang dibuatnya kepada Saudah. Tetapi Saudah mengatakan bahwa kue
tersebut tidak enak. Aisyah kesal lalu menimpuk Saudah dengan kue
tersebut, lalu Saudah membalasnya. Jadilah mereka balas-balasan menimpuk
dengan kue. Apa yang dilakukan Rasulullah? Ternyata beliau hanya
menonton sambil tertawa.
Begitulah, tidak semua masalah harus dipikirkan dan diselesaikan. Karena
beberapa masalah, termasuk pertengkaran seperti itu, akan selesai
sendiri. Karena masalah itu tidak mengancam hal yang asasi: misi
kerasulan. Tentunya setelah semua elemen menyadari betul apa misi besar
mereka. Beberapa masalah hanya merupakan bumbu penyedap dan dinamisator
perjalanan bahtera rumah tangga yang panjang.
#5 – Fitnah yang Mengancam
Pasukan muslimin sudah jauh meninggalkan Aisyah menuju Madinah. Aisyah
tertinggal rombongan. Ia berharap mereka akan menyadari bahwa beliau
tertinggal dan kembali lagi. Tapi ternyata tidak. Ia kemudian pasrah
kepada Allah. Beruntung, datanglah seorang sahabat laki-laki yang
menemukan beliau. Akhirnya Aisyah pulang dengan menunggani unta
sementara si sahabat lak-laki berjalan di depan.
Tetapi di Madinah suasana tidak setenang biasanya. Ada kabar bahwa
Aisyah berselingkuh. Berita ini menyebar. Orang-orang menjadi ragu.
Aisyah yang sampai di Madinah tidak tahu akan berita itu sampai dua
bulan kemudian. Tapi Aisyah dapat merasakan perbedaan sikap Rasulullah
yang mendingin terhadap dirinya. Ia jatuh sakit. Keadaan baru menjadi
“clear” setelah turun wahyu yang menyatakan Aisyah bersih tak bersalah.
Inilah pelajaran berharga bagi umat Islam tentang besarnya bahaya
fitnah. Karena itulah kita (dan keluarga kita) tidak hanya diperintahkan
untuk menjauhi maksiat, tetapi juga menjauhi fitnah. Karena fitnah ini
besar bahayanya, bukan hanya mengancam pribadi sang da’i, melainkan juga
stabilitas da’wah yang diembannya.
Wallahu a’lam bishowab.
Referensi:
Serial Cinta, karya Anis Matta
Rumah Tangga Rasulullah, karya Hamid Al-Husaini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar