I'TIKAF

I’tikaf yang dimaksud dalam syari’at adalah tinggal di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah dari pribadi yang khusus dengan sifat yang khusus pula. Atau menetapi ketaatan yang khusus dalam waktu khusus dengan syarat khusus dan di tempat khusus. Demikian menurut al-Affani.

I’tikaf dapat dilakukan hanya beberapa saat bagi orang yang telah menetapkan hati melakukannya demikian. Ia memasuki masjid kemudian mengazamkan diri untuk tinggal di masjid tersebut dengan melakukan berbagai ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Di samping itu i’tikaf dapat juga dilakukan sebagai pemenuhan terhadap nadzar i’tikaf. I’tikaf yang paling populer dan dicontohkan Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam adalah pada bulan Romadhon.

Dasar pelaksanaan i’tikaf adalah:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِى الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Dari Abdullah bin Amr radhiya Alläh ‘anh, ia berkata: “Keadaan Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di hari sepuluh terakhir pada bulan Romadhon.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)

I’tikaf dilaksanakan di mesjid Jami yang dilakukan di dalamnya shalat berjama’ah dan diselenggarakan shalat Jum’at. Hal ini dimaksudkan agar tidak banyak meninggalkan mesjid tempat i’tikaf. Dalam mesjid ini dibolehkan membuat tempat khusus untuk beri’tikaf seperti kemah dan makan serta minum di dalamnya.

Al-‘Affani mengemukakan rukun dalam i’tikaf: pertama, tinggal di mesjid; kedua, niat; ketiga, orang yang i’tikaf; keempat, tempat i’tikaf. Sedangkan syarat i’tikaf adalah: Muslim, sudah baligh, dan dalam keadaan bersih dari hadats besar.

Sementara Wahbah al-Zuhaili mengurutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi yang i’tikaf, yaitu: pertama, muslim; kedua, berakal dan dewasa; ketiga, keadaanya dilakukan di mesjid; keempat, niat; kelima, shaum; keenam, bersih dari junub, haid, dan nifas; ketujuh, bagi perempuan harus mendapat ijin dari suami.

Ketika beri’tikaf kita diharuskan untuk tinggal di masjid. Tidak boleh meninggalkan mesjid kecuali karena ada alasan syar’i (yang dibenarkan oleh syari’at). Alasan dibolehkan meninggalkan mesjid bagi yang i’tikaf adalah:

1. Hajat Thabi’iyyat (kebutuhan alami) seperti buang air, membersihkan najis, dan mandi.
2. Hajat Dhoruriyat (kebutuhan yang mendesak) seperti mesjid mau roboh.

Di mesjid inilah seorang mu’takif melakukan berbagai kegiatan ibadah mendekatkan diri kepada Allah. Ia shalat, berdzikir, istigfar, dan membaca al-Qur`an. Di samping itu dapat pula melakukan tholabul’ilmi/ mengkaji ilmu-ilmu agama. Hanya tentu, porsinya tidak mengalahkan untuk berdzikir dan beristigfar kepada Allah. Karena i’tikaf adalah ibadah khusus untuk menjalin hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Maka disunnahkan untuk tidak menjenguk yang sakit, tidak menghadri jenazah, tidak menyentuh dan menggauli perempuan.

Al-Zuhaili mengemukakan tujuan dari i’tikaf: “Ia adalah program untuk membersihkan hati dengan muroqabah (menjaga perasaan diawasi oleh Allah) dan menghadap kepada-Nya dengan memutuskan hubungan dengan yang lainnya. Ia melakukan berbagai ibadah hanya untuk Allah subhanahu wa ta’ala dengan melepaskan diri dari berbagai kesibukan dan aktifitas dunia. Seorang mu’takif menyerahkan dirinya kepada sang Pencipta dengan mempercayakan urusannya kepada kekuasaan-Nya. Ia bersandar kepada kemuliaan-Nya. Ia berdiri di pintu-Nya. Ia menetapi ibadah di rumah Allah subhanahu wa ta’ala agar dapat mendekatkan diri kepada-Nya dengan mendekati rohmat-Nya. Ia berusaha membentengi dirinya dengan benteng Allah ‘Azza wa Jalla. Maka tidak akan sampai musuh kepadanya untuk menipu dan memaksanya. Karena ia punya kekuataan dari kekuasaan Allah, paksaan-Nya, keagungan-Nya dan penguatan dengan pertolongan-Nya. I’tikaf adalah amal yang paling mulia dan dicintai Allah. Dengan i’tikaf kita terkondisikan untuk menanti shalat. Sedangkan menunggu shalat ini adalah seperti dalam keadaan shalat dan sebagai keadaan mendekatkan diri. Jika i’tikaf ini tergabung dengan shaum, maka bertambah kedekatan Mukmin dengan Allah melalui curahan orang-orang shaum, yaitu bersihnya hati dan lembutnya jiwa.”

“I’tikaf adalah memutuskan berbagai keterkaitan dengan makhluk untuk menyambungkan hubungan khusus dengan pengabdian yang spesial kepada sang Khaliq. Diharapkan dengan semakin kuatnya ma’rifat kepada Allah, mencintai, dan mendekati-Nya, dapat mewariskan tidak ada hubungan dengan selain Allah secara keseluruhan dalam setiap perkara kepada pelakunya.

Pelaku i’tikaf sungguh telah menahan dirinya untuk menetapi ketaatan kepada Allah. Hal itu ia diraih dengan dzikir kepada-Nya dan memutuskan berbagai hubungan dirinya dengan setiap kesibukan. Ia menetapi dengan hatinya dan menghadapkannya kepada Rabnya. Tidak ada yang tersisa bagi diri mereka keinginan kecuali Allah dan apa yang diridhai-Nya,” ungkap al-‘Affani.

Di samping menjalin hubungan khusus dengan Allah subhanahu wa ta’ala, i’tikaf pun adalah sebagai media mendapatkan keutamaan lailatul qodar.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ، فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ، وَهِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنِ اعْتِكَافِهِ قَالَ: “مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِى فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ، وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا، وَقَدْ رَأَيْتُنِى أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ مِنْ صَبِيحَتِهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ، وَالْتَمِسُوهَا فِى كُلِّ وِتْرٍ”. فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، وَكَانَ الْمَسْجِدُ عَلَى عَرِيشٍ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ، فَبَصُرَتْ عَيْنَاىَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى جَبْهَتِهِ أَثَرُ الْمَاءِ وَالطِّينِ، مِنْ صُبْحِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ.

Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiya Alläh ‘anh, sesungguhnya keadaan Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf mulai dari sepersepuluh yang tengah di bulan Romadhon. Ia i’tikaf seperti itu hanya satu tahun (satu kali). Sehingga ketika memasuki malam kedua puluh satu yaitu malam yang ia keluar dari permulaan pagi i’tikafnya. Ia bersabda: “Siapa yang beri’tikaf denganku, maka beri’tikaflah pada sepuluh hari terakhir. Sungguh aku telah diperlihatkan mengenai lailatul qodar, kemudian aku dilupakan. Sungguh aku telah melihat sujud di tempat yang berair dan berlumpur di pagi harinya. Maka carilah malam lailatulqodar itu di malam terakhir, dan carilah ia di setiap malam yang ganjil.” Maka langitpun pun hujan pada malam itu. Keadaan mesjid pun menjadi tempat berteduh dan masjid pun bocor. Kedua mataku melihat Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam pada keningnya terdapat bekas air dan lumpur pada subuh malam dua puluh satu tersebut.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim).

I’tikaf tidak pernah Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam tinggalkan. Bahkan, pada tahun beliau meninggal, ia melaksanakannya dua puluh hari.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah radhiya Alläh ‘anêh, ia berkata: “Keadaan Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di setiap Romadhon sepuluh hari. Pada tahun yang Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam meninggal, beliau i’tikaf dua puluh hari.” (HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim)

Al-Zuhri mengatakan: “Sungguh kebanyakan manusia sangat aneh. Bagaimana bisa mereka meninggalkan i’tikaf? Rasululläh shallallähu ‘alaihi wa sallam itu keadaannya mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya. Tapi beliau tidak pernah meninggalkan i’tikaf sehingga meninggal dunia.”

“Wallahu a’lam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar