Waktu dan Tempat yang Baik untuk Bershalawat

Shalawat atas Nabi Saw. disyariatkan pada waktu-waktu, tempat-tempat, dan keadaan-keadaan tertentu. Hal ini telah dibicarakan panjang lebar oleh Ibn Al-Qayyim di dalam kitab Jalâ ‘u al-Afhâm fî Fadhli al-Shalâti wa al-Salâmi ‘alâ Muhammad Khayr al-Anâm, Syaikh Islam Quthbuddin al-Haydhari al-Syâfi’i di dalam kitab Al-Liwâ al-Muallim bi Mawâthin al-Shalâh ‘alâ al-Nabî Saw., Al-Hâfizh Al-Sakhâwi di dalam kitab Al-Qawl al-Badî’, dan Al-Qasthallânî di dalam kitab Masâlik al-Hunafâ’.
Al-Khâtib di dalam kitab Syarh al-Minhâj, dan yang lainnya, berkata:
“Disunnahkan memperbanyak membaca Surah Al-Kahfi dan shalawat atas Nabi Saw. pada hari Jumat dan malam Jumat; paling sedikit, untuk yang pertama tiga kali dan untuk yang kedua tiga ratus kali.”
Sementaraa itu, telah sah riwayat yang bersumber dari Imam Al-Syâfi’i r.a., yang mengatakan bahwa, barang-siapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumat, ia akan diterangi oleh cahaya yang ada di antara dua Jumat.

Diriwayatkan pula bahwa barangsiapa yang membaca Surah Al-Kahfi pada malam Jumat, ia akan diterangi oleh suatu cahaya antara dirinya dan Kabah. Membaca Surah Al-Kahfi di waktu siang lebih di-utamakan, dan lebih utama lagi bila ia dibaca sesudah selesai mengerjakan salat subuh, guna menyegerakan berbuat baik sebisa-bisanya.

Hikmah diperintahkannya membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jum’at adalah karena didalam Surah itu Allah menggambarkan suasana Hari Kiamat, sementara hari Jum’at mirip dengan Hari Kiamat, karena orang banyak berkumpul untuk melaksanakan salat bersama-sama; juga karena Hari Kiamat itu terjadi pada hari Jum’at, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya.
Ramli mengatakan bahwa anjuran supaya memperbanyak pembacaan shalawat pada malam dan hari Jum’at itu didasarkan pada hadis yang berbunyi, “Sesungguhnya hari kalian yang paling utama adalah hari Jumat. Oleh karena itu, perbanyaklah kalian membaca shalawat atasku, sebab shalawat yang kalian baca itu diperlihatkan kepadaku.”

Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya semua amal itu diangkat pada hari Senin dan hari Kamis. Oleh karena itu, aku berhasrat agar amalku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa.”
Tentang hadis di atas, Al-Manawi, di dalam kitab Syarh Al-Jamî al-Shghîr; permulaan jilid III, berkata, “Disyariatkan berkumpul untuk membaca shalawat atas Nabi Saw. pada malam Jumat dan malam Senin, sebagaimana yang dikerjakan di masjid Jami’ Al-Azhar dan disuarakan dengan suara yang keras.”
Dikatakan bahwa shalawat atas Nabi Saw. itu sudah mencakup doa di dalamnya.
Ibn Marzûq berkata, “Malam Jumat lebih utama dan malam Qadar.”

Jamâl kembali menyatakan bahwa disunnahkan membaca Surah Ali ‘Imrân atas dasar hadis, “Barangsiapa yang membaca Surah Ali ‘Imrân pada hari Jumat, niscaya dosa-dosanya ikut terbenam dengan tenggelamnya matahari pada hari itu.”
Hikmahnya, kata Jamâl, adalah karena Allah menyebutkan di dalam surah itu penciptaan Nabi Adam a.s., sedangkan Adam a.s. diciptakan pada hari Jumat.
Disunnahkan juga membaca Surah Hûd dan Hâ Mîm Dukhân. Namun, bagi mereka yang hanya ingin memilih salah satu dari surah-surah yang disebutkan di atas, hendaklah ia memilih Surah Al-Kahfi karena banyaknya hadis yang meriwayatkannya
Adapun hadis-hadis lain yang menjelaskan waktu-waktu tertentu untuk membaca shalawat sebagai berikut:

Pertama, sesudah adzan.
Rersabda Rasulullâh Saw.Artinya: “Apabila kamu mendengar muadzin membacakan adzan, sambutlah ucapannya. Sesudah selesai menyambut adzan, maka bershalawatlah kamu untukku.”(HR. Muslim)
Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “Apabila kamu mendengar seorang muadzin (tukang membaca adzan itu) bacalah (sambutlah bacaan adzan itu) seperti yang dibacakan olehnya. Kemudian (sesudah selesai adzan dibacakan), bershalawatlah kamu kepadaku. Sebenarnya barangsiapa bershalawat kepadaku dengan suatu shalawal, niscaya Allah bershalawat ke-padanya dengan sepuluh shalawat. Sesudah itu mohonlah kepada Allah wasilah untukku. Wasilah itu suatu ke-dudukan yang paling tinggi dalam syurga. Tidak dapat diperoleh, melainkan oleh seorang saja dari hamba-hamba Allah. Aku berharap semoga akulah yang mendapat ke-dudukan itu. Karena itu barang siapa memohonkan wasilah untukku, wajiblah baginya syafaatku. “(HR. Muslim).

Kedua, ketika hendak masuk ke dalam mesjid dan ketika hendak keluar daripadanya.
Rersahda Rasulullah Saw.:

Artinya: “Apabila seseorang kamu masuk ke dalam mesjid, maka hendaklah ia membaca “salam” kepadaku (membaca selwat dan salam). Sesudah itu hendaklah ia membaca: Allâhummaftah lî Abwâba Rahmatika (Wahai Tuhanku, bukakanlah untukku segala pintu rahmatmu). Dan apabila ia hendak keluar, hendaklah ia membaca (sesudah bershalawat): Allâhumma Innî As aluka min Fadhlika. (Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu limpahan rahmat-Mu).” (HR. Abû Dâud).
Diberitakan oleh Ibn Al-Sunnî, bahwa Rasulullah apabila masuk ke dalam mesiid. maka beliau membaca:
Artinya: “Dengan nama Allah wahai tuhanku, berilah kebesaran kepada Muhammad.”
Dan apabila beliau hendak keluar dari mesiid, maka beliau membaca

Ketiga, sudah membaca tasyahhud di dalam tasyahhud akhir.
Telah ditahqikkan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam Jalâ’u al-Afhâm, bahwa madzhab yang haq dalam soal bershalawat dalam tasyahhud yang akhir, ialah madzhab Al-Syâfi’i. Yaitu mewajibkan shalawat kepada Nabi di dalamnya. Al-Imam Ibn Al-Qayyim berpendapat, bahwa shalawat itu dituntut juga di dalam tasyahhud yang pertama, walaupun tidak sekeras tuntutan seperti di dalam tasyahhud yang akhir.
Bersabda Rasulullah Saw.:

Artinya: “Apabila salah seorang kamu bertasayahhud di dalam sembahyang, maka hendaklah ia mengucapkan: Allâhumma Shalli ‘alâ Muhammadin wa ‘alâ Âli Muham-madin, Kamâ Shallayta wa Bârakta wa Tarahamta ‘alâ Ibrâhîm wa Âli Ibrâhîm, Innaka Hamîdun Majîd.” (HR. Al-Baihaqî ).

Keempat, di dalam sembahyang jenazah.
Berkata Al-Syâfi’i di dalam Al-Musnad: “Sunnah Nabi Saw. di dalam melaksanakan sembahyang jenazah ialah, bertakbir pada permulaannya, sesudah itu membaca Al-Fâtihah dengan tidak mengeraskan suara, kemudian sesudah takbir kedua membaca shalawat, sesudah bershalawat bertakbir lagi, takbir yang ketiga. Sesudah takbir yang ketiga ini membaca doa dengan sepenuh keikhlasan untuk jenazah itu. Dalam sembahyang jenazah tidak dibacakan surah (ayat-ayat Al-Quran). Sesudah itu bertakbir dan lalu memberi salam dengan suara yang tidak dikeraskan.”

Kelima, diantara takbir-takbir sembahyang hari-raya.
Berkata para ulama: “Disukai kita membaca di antara takbir-takbir sembahyang hari-raya:

Artinya: “Saya akui kesucian Allah, segala puji dan sanjung kepunyaan Allah juga. Tak ada Tuhan yang seebenarnya berhak disembah, melainkan Allah senndiri-Nya dan Allah itu Maha Besar. Ya Allah, wahai Tuhanku, muliakan oleh-Mu akan Muhammad dan akan keluarganya, Ya Allah, Wahai Tuhanku, ampuniah akan aku dan beri rahmatlah kepadaku.”

Keenam, di permulaan doa dan di akhirnya.
Bersabda Rasulullah Saw.:
Artinya:“Bahwasannya doa itu berhenti antara langit dan bumi, tiada naik, barang sedikit juga daripadanya sehingga engkau bershalawat kepada Nabi engkau.” (HR. Al-Turmudzî).
Fadlalah Ibn ‘Ubadi berkata: “Bahwasanya Rasulullah Saw. mendengar seorang laki-laki langsung berdoa dalam sembahyang (yakni dalam duduk tahiyat sesudah membaca tasyahhud), sebelum ia bershalawat. Maka Rasulullah berkata kepada orang yang di sisinya: Orang ini telah bergegas-gegas. Sesudah orang itu selesai sembahyang, Nabipun memanggil lalu mengatakan kepada-nya: Apabila bersembahyang seseorang kamu dan hendak berdoa di dalamnya, hendaklah ia memulai doanya dengan memuji Allah dan membesarkan-Nya. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Sesudah bershalawat, barulah mendoa memohon sesuatu yang dihajati.” (HR. Abû Dâud dan Al-Nasâ’i).
Telah mufakat semua ulama, bahwa amat disukai memulai doa dengan memuji Allah (membaca Alhamdulillah). Di dalam sembahyang, maka tasyahhud adalah menggantikan kalimah puji (hamdalah). Sesudah memuji Tuhan bershalawat.
Demikian pula halnya ketika mengakhiri doa. Amat disukai kita mengakhirinya dengan shalawat dan memuji Allah.

Ketujuh, ketika hendak memulai sesuatu urusan penting dan berharga.
Diberitakan oleh Abû Hurairah, bahwa Nabi Saw. bersabda:

Artinya: “Tiap-tiap urusan penting yang berarti dan berharga yang tidak dimulai dengan hamdalah dan shalawat, maka urusan itu hilang berkatnya.”(HR. Al-Rahawî).
Pengarang Syarah Dalâ’il, –menukil pernyataan yang diberikan oleh Qâdhi ‘Iyâdh di dalam kitabnya Al-Syifâ’–mengatakan bahwa maksud pembacaan shalawat dalam pembukaan segala sesuatu itu adalah untuk bertabaruk (memohon berkah), sesuai dengan sabda Nabi Saw., “Setiap perbuatan penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah dan bershalawat kepadaku niscaya kurang sempurna.”
Juga didasarkan atas firman Allah Swt. di dalam surah Al-Insyirah ayat 4, yang berbunyi:
Artinya: “Kami meninggikan bagimu sebutan (nama)-Mu.” (OS. Al-Insyirah:4).
Tentang maksud ayat ini, sebagian ahli hadis meriwayatkan sebuah hadis dari salah seorang sahabat, yakni Abû Sad r.a., bahwa makna ayat tersebut adalah, “Tidaklah Aku (Allah) disebut, melainkan engkau (Muhammad) pun disebut pula hersama-Ku.”
Memenuhi sebagian hak Rasulullah Saw., sebab beliau adalah perantara antara Allah Saw. dan hamba-hamba-Nya. Semua nikmat yang diterima oleh mereka -termasuk nikmat terbesar berupa hidayah kepada Islam- adalah dengan perantara dan melalui Rasulullah Saw.
Di dalam salah satu hadis, Rasulullah Saw. Bersabda, “Belumlah bersyukur kepada Allah orang yang tidak ber-terima kasih kepada manusia.”
Memelihara perintah Allah Swt. yang dituangkannya di dalam firman-Nya yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang Beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi, dan ucapkanlah salampenghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzâb: 33).

Kedelapan, di akhir qunut
Diriwayatkan oleh Al-Nasâ’i, bahwa disukai kita mengakhiri qunut dengan shalawat. Tegasnya, disukai supaya kita bershalawat di akhir Qunut dengan kalimah:
Artinya: “Dan mudah-mudahan Allah melimpahkan shalawat-Nya atas Muhammad.”

Kesembilan, di malam dan hari Jumat.
Bersabda Rasulullah Saw. :

Artinya: “Banyakkanlah olehmu membaca shalawat di malam hari Jumat dan siangnya karena shalawat itu dtkemukakan kepadaku. “ (HR. Al-Thabrânî).
Dan sabdanya pula;
Artinya: “Banyakkanlah olehmu shalawat kepada-ku, karena shalawaatmu itu akan menjadi cahaya bagimu pada hari qiyamat.” (HR Al-Thrmudzî dan Abû Dâud).
Al-Ustâdz Mahmûd Sâmi dalam karyanya Mukhtashar fi Ma’ânî Asmâ Allah al-Husnâ, bâbu al-Shalâh ‘alâ al-Nabi, menceritakan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz r.a. pernah menulis, “sebarkanlah ilmu pada hari Jumat, sebab bencana ilmu itu adalah lupa. Perbanyaklah pula kalian membaca shalawat atas Nabi Saw. pada hari jumat.
Sementara Imam Al-Syâfi’i r.a. Berkata, “Aku suka memperbanyak membaca shalawat dalam setiap keadaan. Namun, pada malam dan hari Jumat lebih aku sukai, karena ia merupakan hari yang paling baik.

Kesepuluh, di dalam khutbbah.
Menurut madzhab Al-Syâfi’i, para khatib wajib membaca shalawat untuk Nabi Saw. pada permulaan khuthbah, sesudah membaca tahmid.
Ibnu Katsîr herkata: “demikianlah madzhab Al-Syâfi’i dan Ahmad.”

Kesebelas, ketika berziarah ke kubur Nabi Saw.
Bersabda Nabi Saw.

Artinya: “Tidak ada seorangpun di antara kamu yang memberikan salamnya kepadaku yakni di sisi kuburku, melainkan Allah mengembalikan kepadaku ruhku untuk mniawab salamnya itu.” (HR. Abû Dâud).

Kedua belas, sesudah bertalbiyah.
Berkata Muhammad Ibn Al-Qasim:

Artinya: “Memang disuruh seseorang membaca shalawat kepada nabi apabila dia telah selesai membaca talbiyahnya dalam segala keadaan.” (HR. Al-Syâfi’i dan Al-Dâruquthnî).

Ketiga belas, ketika telinga mendenging.
Bersabda Rasulullah Saw :

Artinya: “Apabila mendenging telinga salah seorang di antaramu, maka hedaklah la mengingat dan bershalawat kepadaku.” (HR. Ibn Al-Sunî)

Keempat belas, tiap-tiap mengadakan majlis.
Bersabda Ralulullah Saw :

Artinya: “Tidak duduk sesuatu kaum di dalam sesuatu majlis, sedang mereka tidak menyebut akan Allah dan tidak betshalawat kepda Nabinya, melainkan menderita kekuranganlah maka jika Allah mmghendaki niscaya Allah akan mengazab mereka dan jika Allah menghendaki, niscaya akan mengampuni mereka.” (HR. Al-Thrmudzî Abû Dâud).

Kelima belas, di kala tertimpa kesusahan dan kegundahan.
Diberitakan oleh Ubay Ibn Ka’ab, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw. ujarnya: “Ya Rasulallah, bagaimana pendapat engkau sekiranya saya jadikan shalawat saya untuk engkau semua?
Rasulullah Saw. menjawab :
“Kalau demikian Allah akan memelihara engkau dari segala yang membimbangkan engkau, baik mengenai dunia, maupun mengenai akhirat engkau. “(HR. Ahmad).

Keenam belas, tiap-tiap waktu pagi dan petang.
Bersabda Rasululullah Saw:

Artinya: “Barangsiapa bershalawat kepadaku waktu pagi sepuluh kali waktu petang sepuluh kali, maka ia akan mendapat syafa’atku di hari qiamat, ” (HR. Al-Thabarî).

Ketujuh belas, waktu berjumpa dengan para shahabat, handai dan tolan.
Besabda Rasulullah Saw :

Artinya: “Tidak ada dua orang hamba yang berkasih-kasihan karena Allah, apabila berjumpa salah seorang dengan yang lainnya lalu berjabatan tangan dan bershalawat kepada Nabi Saw., melainkan Allah mengampuni dosanya sebelum mereka berpisah, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. “ (HR Ibn Al-Sunnî). 

Kedelapan belas. ketika Orang menyebut nama Rasulullah Saw.:

Artinya: “Orang yang kikir ialah: Orang yang tidak mau bershalawat ketika orang menyebut namaku di sisinya.” (HR. Ahmad).
Inilah delapan belas tempat atau waktu yang ditentukan supaya kita bershalawat kepada Nabi, ketika kita berada pada tempat, waktu atau keadaan itu. Maka marilah kita wahai para pencinta Rasul, bershalawat kepadanya pada tempat-tempat, waktu-waktu dan keadaan-keadaan tertentu dengan sebaik-baiknya.
Kemudian kita perhatikan makna hadis yang tersebut di bawah ini. Bersabdalah Rasulullah Saw :

Artinya: “Tidak beriman salah seorang kamu, sehingga la mencintai aku lebih daripada anaknya, ayahnya dan manusia semua.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim, dan Ahmad)

Artinya: “Diriwayatkan bahwasanya ‘Umar pernah berkata kepada Rasulullah Saw.: Ya Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih kucintai dari segala sesuatu, kecuali kecintaanku terhadap diriku. Menjawab Nabi: Ya ‘Umar engkau belum lagi mencintai aku sebelum engkau melebihkan cintamu itu daripada kepada dirimu sendiri. Mendengar itu ‘Umarpun berkata: Demi Allah, engkau ya Muhammd, lebih aku cintai daripada diriku sendiri! Nabi menjawab: barulah sekarang engkau mencintai aku hai ‘Umar.” (HR. Ahmad, Bukhârî, dan Muslim).
Sebagai tanda mencintai Rasulllah Saw. itu, ialah: memperbanyak shalawat kepadanya. Dan marilah kita ber-shalawat kepadanya dengan khusyu’ dan khudlu’, terlepas dari riya. Karena sealawat yang dilakukan dengan riya, tiadalah diridlai oleh Allah dan tiada pula diterima-Nya.

7 Sunah Harian Rasulullah SAW

Sunah Harian Rasulullah SAW

Rasulullah SAW bersabda : "Marhaban bil Muthohhir” (selamat datang bulan pembersih), dan beliau mengulang ungkapan tersebut sebanyak tiga kali. Ketika itu para sahabat bertanya: Siapa yang engkau maksud dengan bulan pembersih itu ya Rasulullah…? Lalu Rasul menjawab: “Bulan pembersih itu adalah bulan Ramadhan, Dia (Ramadhan) mampu membersihkan diri dari segala bentuk dosa – dosa dan maksiat”. ( Al Hadist )

Untuk itu, mari kita optimalkan bulan penuh makna ini dengan amalan-amalan yang disunahkan Rasulullah. Tanpa bermaksud membatasi sunah-sunah Nabi Muhammad SAW yang lain, mari kita laksanakan amalan sederhana yang biasa Rasulullah lakukan setiap hari sebagaimana telah dijadikan ikon oleh Ustadz Muhammad Arifin Ilham dalam Majelis Ilmu Az Zikra. Bila kita lakukan selama satu bulan, insya Allah kebiasan ini akan terus menyatu melebur dalam kehidupan kita, sulit dipisahkan dan tidak akan ditinggalkan. Terus istiqomah dilaksanakan sampai Allah memanggil kita dalam Khusnul Khatimah.  Amin ya Raball alamin ....

Apakah tujuh sunah harian yang sedemikian menjanjikan itu? Ternyata tujuh sunnah tersebut sudah kita kenal sebelumnya yaitu:
1.     Sholat Tahajud
2.     Tadabur Al Qur’an
3.     Shalat Berjamaah di Mesjid (terutama Subuh dan Isya bagi ikhwan)
4.     Shalat Dhuha
5.     Memperbanyak Sedeqah
6.     Menjaga Wudhu
7.     Berzikir setiap Saat
Mari kita pelajari secara ringkas satu persatu sebagai berikut:
1.    SHOLAT TAHAJUD
QS Al Isr’a (17:79) Dan dari sebagian malam hendaklah engkau bangun (tahajud), sebagai amalan tambahan untukmu. Semoga Tuhanmu mengangkat (derajatmu) ke tempat yg terpuji.
Shalat yang paling Utama setelah shalat 5 waktu adalah Qiyamul Lail (HR Muslim).
Hadist Qudsi dari Ibnu Arabi: Ketika Allah turun ke langit dunia pada 1/3 malam, Allah SWT bersabda: “Sungguh berdusta orang yang menyatakan mencintaiKu, sementara ia tidur lelap dan lalai kepadaKu. Bukankah setiap kekasih ingin berkhalawat dengan kekasihnya? Akulah yang mendatangi kekasihKu dikelopak mata mereka. Mereka berbicara denganKu dalam musyahadah, dan bercakap-cakap denganKu dengan khusyuk. Di hari kemudian, Aku tetapkan mereka pada surga-surgaKu”
2.    Tadabur Al Qur’an 
Al Qur’an adalah kitabullah yang berisi sejarah umat sebelum kamu, berita umat sesudahmu, kitab yang memutuskan urusan-urusan diantara kamu, yg nilainya bersifat pasti dan absolut. Siapa saja orang durhaka yg meninggalkannya pasti Allah akan memusuhinya. Siapa yg mencari petunjuk selain al Qur’an, pasti akan tersesat. Al Qur’an adalah tali Allah yg sangat kuat, peringatan yg bijaksana dan jalan yg lurus (HR Tirmidzi). 


Bahkan kalau bisa sambil menangis, sebagaimana wahyu Allah dalam QS Maryam 19:58: Dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, mereka menyungkur, bersujud dan menangis.
rumah yg di dalamnya dibacakan al Qur’an akan terlihat penduduk langit sebagaimana penduduk bumi melihat gemerlap bintang-gemintang di langit (HR Baihaqi)

Sedangkan bagi orang yg malas membaca al Qur’an, Nabi SAW memperingatkan: ”Sungguh,orang yg dalam hatinya tidak terdapat sesuatu pun dari al Qur’an, bagaikan rumah syaitan yg menyeramkan (HR Tirmidzi).
3.    Shalat Berjamaah di Masjid (terutama Subuh dan Isya)
Sungguh, shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yg terkandung di dalamnya, mereka pasti mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak (HR Bukhari-Muslim)
Kemudian naiklah para Malaikat yg menyertaimu pada malam harinya, lalu Rabb mereka yg sebenarnya Maha Tahu bertanya kepada mereka, Bagaimana hamba-hambaKu ketika kalian tinggalkan?” Mereka menjawab,”Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sholat dan kami jumpai mereka dalam keadaan sholat juga” (HR Bukhari).
Dua rakaat sebelum (qabliyah) subuh lebih baik dari dunia dan seisinya (HR Muslim)
Shalat subuh menjadi penerang pada hari kiamat, sebagaimana sabda Nabi SAW, ”Berilah kabar gembira bagi orang-orang yg berjalan dikegelapan menuju Mesjid untuk mengerjakan sholat subuh, dengan cahaya yg terang  benderang” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). 
4.    Shalat Dhuha
Nabi mencontohkan bilangan rakaat sholat dhuha 2 s.d 12 rakaat. Sholat dhuha bukan hanya semata meminta harta, namun merupakan sholatnya orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah (HR Thabrani). 
HR Abu Ya’la, Nabi menegaskan”Siapa yang berdiri melaksanakan sholat dhuha, maka diampunilah segala dosanya. Dia kembali bersih dari segala dosa seperti dilahirkan ibunya.
Keutamaan jumlah rakaat dalam sholat Dhuha (HR Tabrani & Abu Dawud):
Siapa yg mengerjakan 2 rakaat, dia tidak akan dicatat dalam kelompok orang-orang yg lupa, yg mengerjakan 4 rakaat akan Allah catat dalam kelompok ahli ibadah, yg mengerjakan 6 rakaat maka segala kebutuhannya hari itu dicukupkan Allah, yg mengerjakan 8 rakaat, maka Allah akan memasukkannya kedalam golongan yg tunduk dan menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Bagi yg mengerjakan sholat dhuha 12 rakaat, maka Allah akan membangunkannya sebuah istana yg indah di dalam syurga.
5.    Memperbanyak Sedeqah
QS Ali Imran 3:133-134: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yg luasnya seluas langit dan bumi, yg disediakan bagi orang-orang yg bertaqwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya diwaktu lapang dan sempit, dan orang-orang yg menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yg berbuat baik.
Balasan Allah bagi umat yang gemar bersedekah:
QS al Baqarah 2:261: Perbandingan (balasan atau pahala) bagi orang-orang yg membelanjakan hartanya di jalan Allah seperti 1 biji yg menumbuhkan 7 cabang, disetiap cabang menjuntai 100 buah, dan Allah akan menggandakan pahala kepada siapa yg Dia kehendaki, dan Allah itu maha luas (pemberianNya) lagi sangat mengetahui.
6.    Menjaga Wudhu


Kesucian lahir ditandai dengan berwudhu yg akan mengantarkan manusia kejenjang kesucian yg lebih tinggi, dan untuk berkomunikasi dengan Allah secara vertikal, harus dalam keadaan berwudhu.
Wudhu merupakan tangga pertama untuk melakukan pengembaraan spiritual menggapai kenikmatan melalui sholat, zikir, membaca al Qur’an dsb.
Kesucian adalah dasar dalam kehidupan seorang muslim. Allah SWT memuji orang yg suci lahir dan bathin dlm firmanNya:”Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri (QS Al Baqarah 2:222).
7.    Berzikir setiap Saat
Berzikir adalah mengingat dan menyebut Asma Allah.
Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut Allah, maka Allah akan menyediakan ampunan dan pahala yg besar bagi mereka (QS Al Ahzab 33:35)

Zikir dapat dilakukan dengan lisan dan dengan hati “ Mereka yg mengingat Allah diwaktu berdiri, duduk dan berbaring ..... (QS Ali Imran 3:191);

Zikir menjadikan hati tentram:” yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah, Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah maka hati jadi tentram (QS Ar Ra’d 13:28)

CINTA RASULULLAH….

CINTA RASULULLAH….CINTA TERINDAH


nabi muhammad sawDua kalimah syahadath adalah bukti bahawa cinta kepada Allah dan Rasulullah s.a.w. tidak terpisah. Cinta Allah itu tujuan, cinta Rasulullah itu jalan. Tidak mungkin tercapai tujuan “lailahaillallah” tanpa mengikut jalan “Muhammad Rasulullah.”
Keyakinan kita kepada Allah adalah atas curahan ilmu, didikan, bimbingan dan pimpinan Rasulullah. Justru Rasulullah itu manusia biasa yang sangat luar biasa. Baginda tidak dididik oleh manusia, tetapi dididik oleh Allah s.w.t.

Kata-katanya tidak pernah sia-sia melainkan terpandu segalanya oleh wahyu. Allah berfirman yang bermaksud: “Rasulullah tidak berkata melainkan wahyu Allah.” (Surah al-Najm 53: 3-4)
Jika hati mencintai kebaikan, maka butalah hati itu jika tidak mencintai Rasulullah… karena Bagindalah insan terbaik dan paling banyak menabur kebaikan. Jika hati mencintai keindahan, maka matilah hati itu jika tidak jatuh cinta kepada keindahan Rasulullah; senyuman, sapaan, teguran, bujukan, bahkan marahnya sekalipun tetap indah.

Kita masih boleh membayangkan seorang yang pernah mengikat perutnya dengan batu bagi menahan kelaparan ketika berjihad. Baginda insan yang pernah patah giginya oleh asakan dan tusukan senjata musuh. Kenangi seorang insan yang pernah luka-luka dilontar dengan batu-batu, dilempari najis dan bangkai, diperosok ke dalam duri dan lubang, akhirnya dikepung untuk dibunuh… hanya kerana ingin menyampaikan iman dan Islam buat manusia.

Kebaikan Rasulullah bukan sahaja dinikmati oleh generasi yang hidup bersama-samanya, tetapi melampaui masa, zaman dan keadaan. Cinta Baginda turut menyentuh hati kita.
Cinta tidak semestinya bertemu. Cinta tidak semestinya bersama. Dimensi cinta ialah ukuran rasa, bukan oleh jarak yang jauh atau masa yang panjang dan pendek. Cinta merombak batasan masa, jarak dan ruang.
Inilah insan yang sewajarnya dicintai. Insan yang tidak akan lega tanpa dijanjikan keselamatan buat umatnya. Insan telah pergi menemui al-Rafiq al-A‘la (Teman daerah tinggi iaitu Allah) tanpa mewariskan sebarang harta. Bahkan menurut ahli sejarah, ketika itu lampu di rumahnya sudah kehabisan minyak…
Itulah cinta Rasulullah. Itulah yang mesti ada ada dalam jiwa agar kita berpeluang bersama-samanya di dalam syurga. Dan sewajar selalu bertanya kepada hati sendiri, “Di mana Rasulullah di hati kita?”

Di mana Rasulullah di hati kita?
Mengapa semua ini melibatkan soal hati? Ya, kerana yang paling berkuasa dalam diri manusia ialah hati. Imam al-Ghazali menegaskan bahawa hati umpama raja yang paling berkuasa dalam diri manusia. Pancaindera dan segala anggota badan bagaikan rakyat yang tunduk dan patuh kepada perintah hati.
Hati adalah tempat cinta bertakhta. Cinta itu yang mengawal hati. Jika seseorang mencintai sesuatu, seluruh tenaga, upaya dan fokus dalam hidupnya akan ditumpukan kepada apa-apa yang dicintai.
Oleh kerana itu, kita perlu berhati-hati apabila mencintai dan dicintai. Kita perlu berhati-hati memilih “siapa” dan “apa” yang hendak kita cintai.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda, maksudnya: “Seseorang akan menjadi hamba kepada apa-apa yang dicintainya.” (Riwayat al-Bukhari)
Syukur, jika hati mencintai Allah, kita akan menjadi hamba kepada Allah dan seluruh hidup kita akan terfokus kepada iman dan Islam. Alangkah ruginya jika di hati kita bertakhta kejahatan dan kemungkaran kerana kita akan menjadi hamba kepada kejahatan dan kemungkaran itu.

Cinta Allah Segala Sumber
Hidup memang untuk cinta. Tetapi cinta kepada siapa? Jawabnya, cinta kepada Allah.
Firman Allah, maksudnya: “Orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Kalaulah orang yang melakukan kezaliman mengetahui ketika mereka melihat seksaan (pada hari kiamat) bahawa kekuatan itu semua kepunyaan Allah dan amat berat seksaan-Nya (nescaya mereka menyesal).” (Surah al-Baqarah 2: 165)
Cinta kepada Allah sumber segala kekuatan, kekayaan, ketenangan dan kejayaan.
Manusia yang bercinta dengan Allah Yang Maha Kaya (al-Ghaniy), akan mendapat kekayaan jiwa yang tiada tandingan.

Manusia yang paling kuat ialah manusia yang mencintai Allah Yang Maha Perkasa (al-Qawiy).
Manusia yang jahil dan serba tidak tahu akan menjadi insan yang bijaksana apabila berhubung cinta dengan Allah Yang Maha Mengetahui (al-‘Alim).
Manusia yang cinta kepada Allah punya kekuatan dan ketenangan untuk menghadapi kehidupan. Hidup mereka tidak akan diganggu gugat oleh rasa takut atau dukacita.
Firman Allah yang bermaksud: “Kebebasan yang diberikan kepadamu (apabila diketahui oleh mereka) lebih dekat untuk mententeramkan hati mereka, menjadikan mereka tidak berdukacita, serta menjadikan mereka reda akan apa-apa yang engkau lakukan kepada mereka. Dan (ingatlah) Allah sedia mengetahui setiap yang ada dalam hati kamu. Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar.” (Surah al-Ahzab 33: 51)
Jika kemanisan hidup yang kita cari, maka rasa cinta kepada Allah mestilah disemat dalam hati.
Rasulullah s.a.w. bersabda, maksudnya: “Sesiapa yang mempunyai tiga perkara padanya, dia telah mendapatkan kemanisan iman, iaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain kedua-duanya, serta mencintai dan membenci seseorang semata-mata kerana Allah. Dia hendaklah benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia membenci jika dicampakkan ke dalam neraka.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ekspresi Cinta Sahabat kepada Allah
Cinta kepada Allah telah membentuk sahabat-sahabat Nabi s.a.w. berikut menjadi orang yang hebat:
Sahabat/Tabiin Bukti Cinta
Abu Bakar r.a. Sanggup mengorbankan seluruh hartanya untuk Islam.
Umar al-Khattab r.a. Kurang tidur pada waktu malam hari kerana bimbang urusannya dengan Allah tidak selesai dan kurang tidur pada waktu siang kerana bimbang urusannya dengan manusia tidak selesai.
Umar bin Abdul Aziz Sangat amanah sehingga tidak sanggup mengambil sedikit pun harta negara untuk maslahat dirinya.
Khalid al-Walid Tidak terikat dengan jawatan apabila berkata: “Aku berjuang bukan kerana Umar (bahkan kerana Allah).”
Mengapa Perlu Mencintai Rasulullah?
Begitulah kelebihan mencintai Allah. Hitam, putih, manis, pahit, terang dan gelap – semuanya baik belaka jika sudah ada cinta. Namun demikian, cinta kepada Allah tidak mungkin dicapai tanpa melalui cinta Rasulullah s.a.w. Cinta Allah itu tujuan, cinta kepada Rasulullah pula jalan. Tujuan tidak akan tercapai tanpa mengikut jalan.
Antara jalan menuju kejayaan adalah dengan “meniru” orang yang berjaya sebagaimana yang turut dinyatakan oleh pakar motivasi dan psikologi. Sebagai umat Islam, siapa lagi insan paling berjaya jika tidak Rasulullah? Baginda mencapai kejayaan yang holistik sebagai individu dan masyarakat di dunia dan akhirat.
Allah s.w.t. telah menegaskan hakikat ini melalui firman-Nya yang bermaksud: “Pada diri Rasulullah buat kamu adalah suri teladan yang baik.” (Surah al-Ahzab 33: 21)
Tanpa berdolak-dalih lagi, kita boleh merumuskan bahawa punca kegagalan umat Islam kini kerana tidak menjadikan Rasulullah sebagai teladan.

Berikut dihuraikan sebab kita perlu mencintai Rasulullah s.a.w.:
1. Jalan mencintai Allah
Allah sendiri telah menunjukkan bahawa jalan mencintai Allah adalah dengan mencintai Rasulullah. Jalan itu wajib diikuti. Tidak ada manusia yang mampu mencintai Allah mengikut jalannya tersendiri. Seperkara lagi, kita mestilah mencintai segala-gala yang dicintai Allah. Ia meliputi mencintai para rasul, nabi, malaikat, hamba-Nya yang soleh, amal soleh dan akhlak mulia.
Tegasnya, cinta kepada Allah mewajibkan kita agar mencintai sesiapa dan segala sesuatu yang dicintai-Nya. Insan yang paling dicintai oleh Allah ialah Rasulullah s.a.w. Inilah syarat pertama dan utama untuk meraih cinta Allah.
Perkara ini ditegaskan sendiri oleh Allah melalui firman-Nya yang bermaksud: “Katakan: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad). Nescaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (Surah Ali ‘Imran 3: 31)

2. Rasulullah sangat dimuliakan Allah
Allah telah memilih Baginda sebagai manusia yang paling mulia dengan pengiktirafan berikut:
- Penghulu segala rasul.
- Menurunkan al-Quran kepadanya.
- Memuliakan dengan selawat.
- Menganugerahkan gelaran “Habibullah” (kekasih Allah).
Peri Rasulullah dimuliakan oleh Allah terpancar daripada firman-Nya yang bermaksud: “Sesungguhnya, Allah dan malaikat-Nya berselawat atas nabi. Wahai orang beriman, berselawatlah atas nabi.” (Surah al-Ahzab 33: 56)
Bukan itu sahaja, malah Baginda dimartabatkan sebagai pemberi rahmat bagi seluruh alam dan kelak Allah akan lebih memuliakannya dengan memberikan syafa‘ah ‘uzma (pertolongan agung) pada hari kiamat.
Insya-Allah, orang yang memuliakan insan yang dimuliakan Allah (Rasulullah) akan turut dimuliakan-Nya. Rasulullah s.a.w. bersabda, maksudnya: “Sesiapa yang berselawat kepadaku sekali, maka aku akan berselawat atasnya 10 kali.” (Riwayat al-Bukhari)

3. Rasulullah sangat mencintai kita
Rasulullah merupakan Nabi yang paling mencintai umatnya. Atas dasar cinta itulah Baginda berjuang habis-habisan untuk menyampaikan ajaran Islam – agama yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Belum tentu orang yang kita cintai akan mencintai kita, tetapi Baginda memang terbukti mencintai kita. Jika kita mencintai Rasulullah, kita tidak akan bertepuk sebelah tangan… Cintailah Rasulullah, pasti cinta kita berbalas.
Bukti cinta ialah pengorbanan. Semakin tinggi cinta, semakin banyak pengorbanan. Lihatlah bagaimana Baginda telah menumpahkan keringat, mengalirkan air mata, malah rela menyabung nyawa demi menyelamatkan umat Islam daripada seksaan neraka?
Firman Allah, maksudnya: “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul daripada kaummu sendiri. Terasa berat olehnya dengan penderitaanmu, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan serta penyayang terhadap orang Mukmin.” (Surah al-Tawbah 9: 128)
Doa-doa yang diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya dan kemudian dipindahkan daripada satu generasi ke satu generasi juga bukti cinta Rasulullah kepada umatnya. Jika kita merujuk kepada hadis-hadis yang dinukilkan dalam pelbagai kitab, kita dapat melihat betapa banyak khazanah doa yang diwariskan sebagai bukti kecintaan Baginda.

4. Jasa dan kebaikan Rasulullah yang melimpah
Budi dan jasa Rasulullah s.a.w. sangat luar biasa. Dakwah, nasihat, didikan, bimbingan, doa dan kepimpinan Rasulullah tidak terhitung nilainya. Baginda bukan sahaja bertungkus-lumus untuk menyelamatkan manusia di dunia sahaja, malah akhirat. Baginda telah menyampaikan berita (hari akhirat) sama ada yang menggembirakan (syurga) atau ancaman yang menakutkan (neraka) sebagai peringatan.
Itulah perbezaan Rasulullah s.a.w. dengan pemimpin dunia yang lain. Pemimpin biasa hanya berusaha menyelamatkan pengikutnya di dunia, tetapi Rasulullah berusaha menyelamatkan umatnya daripada kesengsaraan di dunia dan akhirat. Rasulullah s.a.w. bukan sahaja membersihkan dunia daripada kejahatan, malah membersihkan hati manusia daripada dosa dan kemungkaran.
Hati manusia yang dicemari syirik dan sifat mazmumah telah dibersihkan dengan kehadiran Rasulullah s.a.w. Hasilnya, terbentuklah generasi yang beriman.
Firman Allah, maksudnya: “Sesungguhnya, Allah memberi kurniaan kepada orang yang beriman ketika Allah mengutus antara mereka seorang Rasul daripada golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat Allah kepada mereka, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-hikmah. Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” (Surah Ali ‘Imran 3: 164)

5. Keagungan akhlak Rasulullah
Setiap hati manusia akan jatuh cinta kepada orang yang mempunyai akhlak yang baik. Akhlak yang baik disukai oleh setiap manusia tidak kira agama, bangsa dan warna kulit. Ia nilai sejagat yang diakui oleh semua manusia. Ini juga salah satu sebab kita perlu mencintai Rasulullah s.a.w. kerana ketinggian dan keagungan akhlak Baginda.
Oleh sebab itu, sesiapa yang tidak jatuh cinta kepada Rasulullah s.a.w., itu petanda dia menolak fitrah manusia. Orang yang baik dan ingin menjadi baik akan mencintai dan meneladani orang yang baik. Tidak ada insan sebaik Nabi Muhammad s.a.w. Akhlak Baginda bukan sahaja dipuji oleh kawan dan lawan, malah oleh Tuhan Yang Maha Pencinta.
Allah berfirman, maksudnya: “Sesungguhnya, kamu (Muhammad) benar-benar mempunyai budi pekerti yang agung.” (Surah al-Qalam 68: 4)

Tanda Mencintai Rasulullah
Sudahkah kita jatuh cinta kepada Rasulullah s.a.w.? Antara tanda mencintai Baginda ialah banyak mengingat, menyebut, merindu dan seterusnya ingin sekali bertemu. Maksudnya, cinta adalah satu perasaan yang bersemi dalam hati, diluahkan dengan lidah dan dibuktikan dengan tindakan dan pengorbanan.
Jika kita mengaku cintakan Rasulullah s.a.w., muhasabahlah sebanyak mana kita berselawat kepada Baginda sehari semalam? Selawat itu tanda ingatan. Setelah banyak mengingat dengan berselawat, tentulah rasa rindu untuk bertemu semakin mendalam. Ya, cinta dan rindu sangat sinonim.
Cinta yang hebat akan mampu mendekatkan jarak waktu dan jurang generasi. Inilah yang dialami oleh manusia yang hidup pada akhir zaman, tetapi punya cinta yang mendalam kepada Rasulullah s.a.w.
Justeru, Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: “Orang yang paling aku cintai dalam kalangan umatku ialah orang sesudahku yang sangat ingin melihat aku (walaupun dengan mengorbankan) keluarga dan hartanya.” (Riwayat Muslim)
Kesimpulannya, orang yang bercinta mesti banyak mengingati sesiapa yang dicintainya. Apabila hati mengingat, mulut akan banyak menyebut. Apabila lidah banyak menyebut, hati akan berasa rindu. Apabila rindu, pasti terasa ingin bertemu. Ya, begitulah sifir cinta kepada Rasulullah. Bagaimana hendak bertemu dengan Rasulullah? Jawabnya, dengan mati dalam keadaan sedang berjuang menegakkan sunnahnya dalam seluruh aspek kehidupan!

Doa daripada Rasulullah
Lihatlah, betapa cinta Rasulullah s.a.w. apabila Baginda berkata kepada seorang sahabatnya; Mu‘az bin Jabal:
“Wahai Mu‘az, aku sangat mencintaimu. Selepas engkau menunaikan solat, jangan sekali-kali engkau lupa untuk berdoa kepada Allah dengan doa ini:
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Bermaksud: ‘Ya Allah, bantulah aku mengingati-Mu, mensyukuri nikmat-Mu dan memperbaiki ibadah kepada-Mu.’”
5 Jalan Utama Mencintai Rasulullah
Walau apa-apa pun keadaan, tidak ada pilihan lain buat kita melainkan cuba sedaya upaya mencintai Rasulullah s.a.w. sepenuh hati. Keselamatan kita di dunia dan akhirat bergantung kepada sejauh mana kita mencintai Rasulullah s.a.w. Justeru, untuk mencapai cinta Allah, kita perlu melalui terlebih dahulu jalan-jalan yang membawa cinta kepada Rasulullah.
Seorang Arab Badwi bertemu Rasulullah s.a.w. lantas bertanya: “Bila berlaku kiamat?”
Rasulullah s.a.w. bertanya kembali kepadanya, mafhumnya: “Apa yang sudah kau sediakan untuk menghadapinya?”
Orang Arab Badwi tersebut menjawab: “Aku menyediakan hati yang sangat mencintai engkau, wahai Rasulullah.”
Rasulullah membalas: “Seseorang akan bersama-sama dengan orang yang dicintainya di akhirat.”
Ketika mendengar jawapan Rasulullah itu, para sahabat Baginda sangat gembira. Malah, ada daripada mereka yang merasakan hari tersebut seolah-olah hari raya. Mereka merasakan dengan “bermodalkan” cinta, mereka boleh dikurniakan syurga!

KAEDAH MENCINTAI RASULULLAH
 Bagaimana hendak mencintai Rasulullah s.a.w.? Mencintai Rasulullah dapat dicapai melalui jalan-jalan berikut:
1. Mengenali Rasulullah
Kita perlu benar-benar mengenali Rasulullah melalui sirah dan sunnah Baginda. Tidak cukup hanya mengetahui dengan akal, tetapi kita perlu mengenali Baginda dengan hati, lalu cuba mempraktikkan segala sunnahnya dalam realiti kehidupan.
Tanya kepada diri: “Jika Rasulullah bersama-samaku, bagaimanakah rasa, kata dan tindakan kita ketika berdepan dengan suasana ini?” Begitulah rasa hati yang seharusnya ada dalam hati kita sekiranya ingin benar-benar mengenali Rasulullah s.a.w.
Akal — Tahu
Hati — Kenal
Mungkin telah banyak yang kita baca daripada sirah Rasulullah, tetapi sejauh mana ia meresap ke dalam hati untuk dirasai? Dengan cuba meneladani Baginda setiap masa, barulah kita diberi hidayah oleh Allah untuk benar-benar mengenali dan seterusnya mencintai  Rasulullah.
Untuk cinta, mesti kenal. “Tak kenal, maka tak cinta.” Apabila kita mengenali Rasulullah s.a.w., barulah kita boleh mencintainya. Justeru, tuntutan yang paling utama selepas mengenal Allah adalah dengan mengenal Rasulullah.
Ironinya, bagaimana mungkin ibu bapa mampu mengenalkan dan menyemai rasa cinta kepada Rasulullah kepada anak-anak jika diri mereka sendiri pun belum mengenali dan mencintai Baginda?
Mengenali Rasulullah s.a.w. melibatkan dua dimensi, seperti berikut:
Dimensi Contoh
Lahiriah Personaliti Rasulullah yang merangkumi nama, rupa fizikal, ahli keluarga dan lain-lain.
Rohaniah Aspek keyakinan, prinsip dan strategi perjuangan Rasulullah.

Tidak memadai jika kita mencintai Rasulullah s.a.w. hanya kerana jasad dan tubuh badan Baginda tanpa mengenali dan mencintai perjuangannya. Abu Talib, bapa saudara Nabi sendiri sangat kuat mempertahankan keselamatan nyawa Baginda. Malangnya, dia tidak mendapat hidayah untuk menyakini iman dan Islam yang menjadi perjuangan Baginda.
Oleh sebab itu, mengenali Rasulullah s.a.w. tidak cukup sekadar lahiriah. Kita mesti menyelami roh dan prinsip perjuangan Baginda. Perkenalan tahap pertama (lahiriah), tidak akan menghasilkan cinta yang sempurna.
Sekadar menghafal nama, mengetahui ahli keluarga dan mempunyai maklumat elemen luaran Baginda bukan pengenalan yang hakiki. Mungkin ia boleh menimbulkan minat, tetapi tidak akan membuahkan cinta. Pengenalan yang menghasilkan cinta ialah perkenalan yang meresap ke hati, bukan sekadar di kepala dan juga bukan sekadar hafalan, tetapi penghayatan.
Sedangkan cinta adalah soal hati dan rasa. Atas dasar itulah ramai umat Islam yang belum mencintai walaupun sering mengaku mencintai. Dalam hati cuma boleh menampung satu cinta. Jika cintakan dunia, manusia dan lain-lain masih mendominasi hati, ertinya cinta kepada Rasulullah tidak akan bersemi. Betapa jarang kita mengingati Rasulullah, apatah lagi merindukan untuk berjumpa dengannya.

2. Mematuhi ajaran Rasulullah
Tanda cinta ialah patuh. Pepatah Arab menyatakan: “Seseorang akan menjadi hamba kepada perkara yang dicintainya.” Seorang yang mencintai Rasulullah akan menjadi hamba kepada Allah dengan mengikut sunnah Rasulullah. Kepatuhan seseorang terhadap ajaran Rasulullah adalah bukti yang paling kuat menunjukkan kebenaran cintanya. Tanpa mematuhi ajarannya, dakwaan cinta itu adalah palsu.
Dalam konteks ini, al-Hasan al-Basri dan para salaf pernah menyatakan: “Sesuatu kaum mendakwa bahawa mereka mencintai Allah, lalu mereka diuji oleh Allah dengan menurunkan ayat 31 surah Ali ‘Imran yang bermaksud: ‘Katakan: ‘Jika benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku.’’
Setiap kali berarak, marhaban, bernasyid dan berselawat pada hari keputeraan Rasulullah, sepatutnya peringatan daripada al-Hasan al-Basri inilah yang lebih dititikberatkan.

3. Memuliakan dan menghormati Rasulullah
Kita dianggap memuliakan Rasulullah apabila membenarkan segala berita yang dibawa oleh Baginda, mematuhi segala suruhan, menjauhi segala larangan dan beribadah kepada Allah dengan cara yang ditunjukkannya. Sesiapa yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, ini bererti dia tidak lagi menghormati Rasulullah walaupun mulutnya mendakwa demikian.
Love is a verb not a word – cinta itu tindakan, bukan perkataan.” Seseorang yang tidak menegakkan sunnah Rasulullah s.a.w. dalam kehidupan kerana kejahilan, kedegilan atau keangkuhan, maka secara langsung atau tidak dia telah menghina Rasulullah. Bahkan, secara sedar atau tidak, sikap itu boleh dikira sebagai meragui kejujuran, keadilan dan kebenaran yang dibawa Baginda.

Pada akhir zaman, bukti mencintai Rasulullah s.a.w. adalah dengan menegakkan sunnah Baginda, namun ia sangat sukar dilakukan seumpama menggenggam bara api. Namun, orang yang cinta, “buta” kepada penderitaan demi mendapat keredaan orang yang dicintainya, akan sanggup melakukan. Ya, cinta itu buta. Begitulah jika kita mencintai Rasulullah, kita sanggup menggenggam “bara api” tersebut dan mengamalkan sunnah Baginda walaupun terpaksa menggigitnya dengan gigi geraham.
Inilah maksud sabda Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulaan. Berbahagialah orang yang asing.” (Riwayat Muslim)
Rasulullah s.a.w. bersabda lagi yang bermaksud: “Sesungguhnya, di belakang kalian ada hari-hari untuk orang yang bersabar seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari tersebut akan mendapatkan pahala 50 kali daripada kalian yang mengamalkan amalan tersebut.”
Para sahabat bertanya: “Mendapatkan pahala 50 kali daripada kita atau daripada mereka?”
Rasulullah menjawab: “Bahkan 50 kali pahala daripada kalian.” (Riwayat al-Tirmizi, Abu Daud, Ibn Majah, Ibn Hibban dan al-Hakim)

Namun, kita mesti berwaspada pada tipu daya syaitan yang hendak menyesatkan manusia. Bagi mereka yang tidak ingin memuliakan Rasulullah s.a.w., syaitan meniupkan rasa enggan, berat dan angkuh untuk menegakkan sunnah. Manakala, bagi yang sudah mempunyai dorongan untuk memuliakan Baginda, syaitan akan mendorongnya secara keterlaluan hingga ke tahap terlajak dan terlampau.
Hal ini diperingatkan sendiri oleh Rasulullah s.a.w., maksudnya: “Janganlah kamu keterlaluan menyanjung aku sebagaimana sanjungan yang diberikan orang Nasrani terhadap Nabi Isa anak Maryam. Sesungguhnya aku hamba-Nya, oleh sebab itu panggilan aku Abdullah (hamba Allah) dan Rasulullah (pesuruh Allah).” (Riwayat al-Bukhari)

4. Mencintai keluarga, kaum kerabat dan sahabat Rasulullah
Sudah lumrah apabila kita mencintai seseorang, kita akan turut mencintai semua orang yang dicintainya dan segala sesuatu yang membawa kepada kecintaannya. Dalam konteks ini, Rasulullah s.a.w. telah mengajar kita supaya berdoa dengan doa ini: “Ya Allah, berikan cinta-Mu kepadaku, jadikan orang yang mencintai-Mu mencintaiku dan jadikan aku mencintai segala sesuatu yang membawa kepada kecintaan-Mu.”
Justeru, bukti cinta kita kepada Rasulullah s.a.w. adalah dengan mencintai seluruh keluarganya (isteri, anak, cucu dan seterusnya) serta para sahabat Baginda.

Jika ditanya, bagaimana? Jawapannya dengan menghormati para sahabat, mengakui keutamaan ahli bait, memelihara kehormatan dan kedudukan mereka serta benci kepada sesiapa yang menghina mereka. Kita tidak boleh berdiam diri apabila para sahabat dan ahli bait dikecam oleh sesiapa sahaja. Kita mestilah bertindak memberi penjelasan, penerangan dan berhujah dengan cara ilmiah dan amaliah (perbuatan) bahawa mereka memiliki keutamaan dan keistimewaan yang khusus.
Hakikat ini dijelaskan dalam firman Allah, maksudnya: “Orang yang terdahulu lagi yang pertama kali (masuk Islam) dalam kalangan Muhajirin, Ansar dan orang yang mengikut mereka dengan baik. Allah meredai mereka dan mereka pun reda kepada Allah. Dia menyediakan bagi mereka syurga yang mengalir sungai di dalamnya, dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Surah al-Tawbah 9: 100)

Ketika ada sahabat yang menyatakan kebimbangan dengan pelantikan Usamah bin Zaid sebagai jeneral tentera Islam, Rasulullah s.a.w. telah bersabda, maksudnya: “Jika kalian mencela kepimpinannya, maka kalian juga mencela kepimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah, dia (ayahnya) sangat layak menduduki jawatan panglima dan dia salah seorang yang paling aku cintai. Usamah adalah orang yang paling aku cintai sesudah ayahnya.” (Riwayat al-Bukhari)
Begitu juga rasa cinta yang diucapkan Baginda kepada cucunya iaitu al-Hasan dan al-Husin sehinggakan Baginda mendoakan mereka dengan doa: “Ya Allah, cintailah kedua-duanya kerana aku mencintai kedua-duanya.” (Riwayat al-Bukhari)
Mengakui mencintai Rasulullah tetapi membenci sahabat-sahabat utama Baginda adalah satu pendustaan. Padahal, keutamaan para sahabat dan generasi awal Islam telah ditegaskan oleh Rasulullah sendiri melalui sabdanya yang bermaksud: “Sebaik-baik manusia ialah (manusia yang hidup dalam) kurunku, kemudian mereka yang mengikutinya (tabi) dan mereka yang mengikutinya (tabi tabiin).” (Riwayat al-Bukhari)

5. Mencintai ulama yang gigih berdakwah
Ulama ialah pewaris nabi. Merekalah golongan yang paling teguh berpegang dengan sunnah dan gigih berdakwah menyebarkan Islam sejak dahulu sehingga kini. Di bahu merekalah terletaknya amanah untuk meneruskan perjuangan menegakkan Islam kepada umat setelah tidak akan ada lagi nabi atau rasul yang akan diutuskan kepada umat manusia. Tidak kira di mana-mana pun kedudukan kita sama ada sebagai umara atau umat, ulama mesti diletakkan sebagai penasihat, murabbi bahkan pembimbing ke jalan kebenaran.

Kita dituntut memuliakan ulama silam yang banyak berjasa dan menjaga warisan ilmu dengan penuh iltizam, ikhlas dan profesional. Mereka mewariskan kitab muktabar dan generasi ilmuwan yang meneruskan legasi kecemerlangan sehingga pada zaman kini. Walaupun mungkin sebagai manusia biasa, para ulama juga tidak terlepas daripada kekhilafan dan kesilapan, namun itu bukan alasan untuk memandang rendah apatah lagi mencerca mereka.
Alangkah baik sekiranya ada perbezaan sesama mereka (walau bagaimana besar sekalipun perbezaan itu) kita menerima dengan berlapang dada dan penuh adab.

Menghormati ulama silam sangat perlu berdasarkan ‘ibrah yang dijelaskan oleh firman Allah, maksudnya: “Dan orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, maksudnya: ‘Wahai Tuhan kami, berikan keampunan kepada kami dan saudara kami yang telah beriman terlebih dahulu daripada kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” (Surah al-Hashr 59: 10)

Mencintai Karena Allah
Selepas mencintai Allah dan Rasul-Nya, kepada siapa lagi perlu kita mencintai? Ya, kita boleh mencintai sesiapa dan apa-apa sahaja dengan syarat diniatkan mencintai Allah. Mencintai Allah adalah sumber cinta semua dan segala-galanya. Justeru, cintailah Allah…
Rasulullah mampu mencintai isteri, anak, cucu, menantu, sahabat malah seluruh umatnya. Jika Rasulullah mencintai Mu‘az kerana Allah, maka kita juga mesti mencintai orang lain kerana Allah. Mencintai seseorang kerana Allah dan Rasul-Nya juga dikira mencintai Allah.

Namun, dalam apa-apa jua keadaan sekalipun, kecintaan kepada makhluk tidak boleh melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah yang bermaksud:
“Jika bapa, anak, saudara, isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugian dan tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sehingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang fasiq.” (Surah al-Tawbah 9: 24)
Umar al-Khattab berkata kepada Rasulullah s.a.w.: “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri.”
Nabi s.a.w. bersabda, maksudnya: “Tidak, demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya sehingga aku lebih dicintai daripada dirimu sendiri.”
Umar r.a. berkata: “Sesungguhnya, demi Allah sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” (Riwayat al-Bukhari)

Adakah rasa hati kita telah merasai seperti yang pernah dirasai oleh Sayidina Umar? Adakah Rasulullah s.a.w. lebih kita cintai daripada diri kita sendiri?
Masya-Allah, semuanya masih jauh. Soalan “di mana Rasulullah di hati kita?” adalah satu persoalan yang perlu dijawab dengan jujur oleh setiap Muslim kerana kedudukan Rasulullah di hati kita adalah pengukur kedudukan Allah di hati kita. Di mana Allah di hati kita juga menentukan sejauh mana kebahagiaan, kejayaan, ketenangan, keselamatan dan keharmonian hidup kita di dunia dan akhirat.

* KISAH KEUTAMAAN SHOLAWAT *

* KISAH KEUTAMAAN SHOLAWAT *
Syeikh Abdul Wahid bin Ismail bercerita, bahwa di Mesir
dahulu, ada seorang laki-laki yang setiap tahun mengadakan
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.
 

Disebelah laki-laki tadi, ada tetangganya yang beragama
Yahudi, isteri Yahudi ini berkata kepada suaminya:

"Mengapa,tetangga kita yang muslim itu,
setiap bulan ini (Rabi'ul Awwal)
membelanjakan harta yang banyak?"

Suami Yahudi itu menjawab:
"Itu adalah karena dia beranggapan bahwa dalam bulan inilah nabinya di lahirkan,
dia melakukan hal tersebut karena senang dengan nabinya dan memuliakan hari
kelahirannya.


Syeikh Abdul Wahid bin Ismail melanjutkan ceritanya.
Kedua suami isteri pun diam,kemudian keduanya tidur. Dalam
tidurnya, isteri Yahudi itu bermimpi ia melihat ada seorang laki-laki yang begitu
tampan dan agung, berwibawa dan sangat dimuliakan
memasuki rumah tetangganya yang Muslim itu.
Dan di kanan kiri laki-laki tersebut ada
serombongan dari sahabatnya.
 

Mereka menghormati dan mengagungkan laki-laki tersebut.
Wanita itu pun bertanya kepada
pada salah seorang diantara anggota rombongan itu:

"Siapa laki-laki yang tampan ini?"
Orang itu menjelaskan bahwa itulah Rasulullah Saw. Beliau
masuk kerumah ini untuk mengucapkan salam kepada
penghuni rumah ini dan menemui mereka yang telah menunjukkan rasa suka-cita mereka atas kelahiran beliau.
 

Wanita Yahudi itu pun berkata lagi:
"Maukah orang itu
berbicara denganku apabila aku mengajaknya bicara ?"

Laki-laki tadi menjawab:
"Sudah tentu beliau mau."

Wanita Yahudi itupun lantas mendekati Nabi Muhammad Saw
dan menyapanya:
"Wahai Muhammad!"

lantas Nabi pun
menjawab:
"LABBAIKI (aku sambut panggilanmu)."

Wanita itu pun berkata: " Engkau
menjawab orang sepertiku dengan TALBIYAH, sedangkan
aku bukan mengikuti agamamu dan akupun termasuk salah satu
musuh-musuhmu."

Nabipun bersabda kepadanya:
"Demi Dzat Yang telah

mengutusku dengan haq menjadi Nabi, aku tidak menjawab panggilanmu shingga aku mengerti
bahwasanya Allah telah memberi
hidayah atasmu."


Wanita itupun berucap:
"Sesungguhnya Tuan memang benar seorang Nabi yang mulia yang berpribadi agung,celakalah orang yang menyelisihi
perintahmu dan merugilah orang yang tidak mengerti
pangkatmu. Ulurkanlah tanganmu, Aku bersaksi bahwa
Tiada Tuhan selain Allah dan Engkau adalah Rasulullah Saw."
Dalam hatinya, wanita itu berjanji kepada Allah, berniat
bahwa nanti besok pagi, ia akan
bersedekah dengan seluruh harta yang ia miliki& melaksanakan jamuan untuk
memperingati Maulid Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam,
sekaligus sebagai perwujudan
rasa syukur atas keislamannya
dan mimpinya malam itu Akan tetapi, diluar dugaan begitu bangun pagi ia melihat suaminya sudah sibuk untuk
menyiapkan suatu perjamuan, ia
begitu rajin dan serius.
 

Wanita itupun heran dengan apa yang dilakukan suaminya
seraya berkata:
"Ada apa gerangan kulihat engkau begitu
sibuk & bersemangat pagi ini?" si suami menjawab:
"Karena orang yang kau lihat malam tadi, yang mana engkau
masuk Islam dihadapan beliau."

Dia bertanya kepada suaminya:
"Siapa gerangan yang telah membukakan engkau rahasia ini
(ihwal impiannya) & memperlihatkannya kepada engkau?"

Si suamipun berkata: "Yaitu Nabi Muhammad yang mana aku masuk Islam setelah Engkau
dihadapan beliau Saw. Beliaulah
Nabi yang diterima syafaatnya kelak untuk orang yang
bershalawat dan salam atas beliau."


Sumber:
Kitab Maulid Syeikh Ahmad bin Al Qasim (terkenal dengan nama Maulid Syaraful Anam) , yang
disyarahi oleh Syeikh Nawawi Al Jawi dengan nama: Fat_hush Shamad al Alim 'alaa
Maulidisysaikh Ahmad bin al Qasim (halaman 44-46).

DI-Universitas Makam Indonesia - UMI

Dalil-dalil tawasul

dalil-dalil tawasul


TAWASSUL, ISTIGHOSAH, SHOLAWAT BADAR, SHOLAWAT NARIYAH, BARZANJI, MOHON SYAFA'AT KEPADA NABI, HUKUMNYA SUNNAH (TIDAK SESAT), MEMBANTAH TUDUHAN KAUM SALAFY PALSU :

1. DALIL QUR'AN TENTANG PERINTAH BERTAWASSUL :
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan’ (QS Al-Maidah: 35)

2. DALIL QUR'AN BOLEHNYA MINTA TOLONG KEPADA SELAIN ALLOH :
“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”. (Q.S. 66:4)

3. NABI MUHAMMAD TAWASSUL KEPADA PARA NABI LAINNYA :
“Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku panggilan ibu, karena Rasulallah saw. ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya, lapangkanlah kuburnya dengan demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi sebelumku. Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw. kemudian mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama Al-‘Abbas dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhumaa memasukkan jenazah Fathimah binti Asad kedalam lahad. ( At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.) Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin Malik. Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang meriwayatkan hadits itu secara berangkai dari Jabir. Ibnu ‘Abdul Birr meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami meriwayatkannya dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang saling memper- kuat kebenarannya.

4. NABI ADAM TAWASSUL KEPADA NAMA NABI MUHAMMAD YANG BELUM ADA :
dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:

“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya:‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.

Dii dalam kitab Mustadrak al-Hakim, jilid 2, halaman 15; kitab ad-Durr al-Mantsur, jilid 1, halaman 59; dengan menukil dari Thabrani, Abu Na’im al-Ishfahani. Demikian juga hadits tentang bertawassulnya Rasulallah saw. dengan hak-hak para nabi sebelumnya. Sebagaimana juga Thabrani meriwayatkannya didalam kitabnya al-Kabir dan al-Awsath. Begitu juga Ibnu Hibban dan al-Hakim, mereka berdua menshohihkannya. Selanjutnya, hadits bertawassul kepada orang-orang yang berdo’a, terdapat juga didalam shohih Ibnu Majjah, jilid 1, halaman 261, bab al-Masajid; dan begitu juga di dalam musnad Ahmad, jilid 3, halaman 21. Demikian juga dengan riwayat-riwayat yang lain.

5. SITI 'AISYAH (ISTERI RASUL) TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT :
Ad-Darami meriwayatkan: “Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah ra (ummul Mukminin). Aisyah mengatakan: ‘Lihatlah pusara Nabi ! Jadikanlah ia(pusara) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit’. Dia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbuhlah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun ‘al-fatq’(sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)

Hadits serupa diatas yang diriwayatkan secara berangkai dari Abu Nu’man dari Sa’id bin Zaid, dari ‘Amr bin Malik Al-Bakri dan dari Abul Jauza bin ‘Abdullah yang mengatakan sebagai berikut: “Ketika kota Madinah dilanda musim gersang hebat, banyak kaum muslimin mengeluh kepada isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. Kepada mereka ‘Aisyah berkata: ‘Datang-lah kemakam Nabi saw. dan bukalah atapnya agar antara makam beliau dan langit tidak terhalang apapun juga’.Setelah mengerjakan saran ‘Aisyah ra.itu turunlah hujan hingga rerumputan pun tumbuh dan unta-unta menjadi gemuk”. (ini menggambarkan betapa banyaknya hujan yang turun hingga kota Madinah menjadi subur kembali). (Kitab Sunan Ad-Daramy jilid 1/43)

6. ALI BIN ABI THOLIB TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD SAW YANG TELAH WAFAT :
Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul ‘Mishbah adz-Dzolam’; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumi- kan Rasulullah. Kemudian iamenjatuhkan dirinya ke pusara Rasulallah saw. dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; ‘Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang’ (QS an-Nisa: 64) dan aku telah mendzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Kemudian terdengar seruan dari dalam kubur: ‘Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu’ ”. (Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul/istigho- tsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul –dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara– yang ditujukan kepada Rasulallah yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib kw. sebagai berikut: ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali’. (Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298).

Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124, ‘Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan’. Dalam Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126, ‘Aku (Rasulallah saw.) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa meng- hendaki(masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya’. Dalam Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122, ‘Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah(kematian)-ku’. Dan masih banyak lagi riwayat mengenai Khalifah Ali kw.ini.

7. BILAL BIN RABAH TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT :
Abu Darda’ dalam sebuah riwayat menyebutkan: “Suatu saat, Bilal (al-Habsyi) bermimpi bertemu dengan Rasulallah. Beliau bersabda kepada Bilal: ‘Wahai Bilal, ada apa gerangan dengan ketidak perhatianmu (jafa’)? Apakah belum datang saatnya engkau menziarahiku?’. Selepas itu, dengan perasaan sedih, Bilal segera terbangun dari tidurnya dan bergegas mengendarai tunggangannya menuju ke Madinah. Lalu Bilal mendatangi kubur Nabi sambil menangis lantas meletakkan wajahnya di atas pusara Rasul. Selang beberapa lama, Hasan dan Husein (cucu Rasulallah) datang. Kemudian Bilal mendekap dan mencium keduanya”. (Tarikh Damsyiq jilid 7 Halaman: 137, Usud al-Ghabah karya Ibnu Hajar jilid: 1 Halaman: 208, Tahdzibul Kamal jilid: 4 Halaman: 289, dan Siar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi Jilid: 1 Halaman 358)

8. UMAR BIN KHOTTOB TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT 1 :
“Masyarakat telah tertimpa bencana kekeringan di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Bilal bin Harits –salah seorang sahabat Nabi– datang ke pusara Rasul dan mengatakan: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah (banyak) yang binasa’. Rasul saw. menemuinya di dalam mimpi dan memberitahukannya bahwa mereka akan diberi hujan (oleh Allah) ”. (Fathul Bari jilid 2 halaman 398, atau as-Sunan al-Kubra jilid 3 halaman 351)

9. UMAR BIN KHOTTOB TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT 2 :
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas bin Malik : “Bahwasanya jika terjadi musim kering yang panjang, maka Umar bin Khattab memohon hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan Abbas Ibnu Abdul Muthalib. Dalam do’anya ia berkata; ‘Ya Allah, dulu kami senantiasa bertawassul kepada-Mu dengan Nabi saw. dan Engkau memberi hujan kepada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami’. Anas berkata; ‘Maka Allah menurun- kan hujan pada mereka’ ”. (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadits ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)

10. SAHABAT 'UTHBAH TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT :
Syeikh Abu Manshur As-Shabbagh dalam kitabnya Al-Hikayatul Masyhur- ah mengemukakan kisah peristiwa yang diceriterakan oleh Al-‘Utbah sebagai berikut:

“Pada suatu hari ketika aku (Al-‘Utbah) sedang duduk bersimpuh dekat makam Rasulallah saw., tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui. Didepan makam beliau itu ia berkata: ‘As-Salamu’alaika ya Rasulallah. Aku mengetahui bahwa Allah telah berfirman: Sesungguhnya jika mereka ketika berbuat dhalim terhadap diri mereka sendiri segera datang kepadamu (hai Muhammad), kemudian mohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun me mohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka akan mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (An-Nisa: 64). Sekarang aku datang kepadamu ya Rasulallah untuk mohon ampunan kepada Allah atas segala dosaku, dengan syafa’atmu, ya Rasulallah..’. Setelah mengucapkan kata-kata itu ia lalu pergi. Beberapa saat kemudian aku (Al-‘Utbah) terkantuk. Dalam keadaan setengah tidur itu aku bermimpi melihat Rasulallah saw. berkata kepadaku : ‘Hai ‘Utbah, susullah segera orang Badui itu dan beritahu kan kepadanya bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosanya’ ”.

Peristiwa diatas ini dikemukakan juga oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Idhah bab 4 hal. 498. Dikemukakan juga oleh Ibnu Katsirdalam Tafsir-nya mengenai ayat An-Nisa : 64. Para ulama pakar lainnya yang mengetengah- kan peristiwa Al-‘Utbah ini ialah: Syeikh Abu Muhammad Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Al-Mughny jilid 3/556 ; Syeikh Abul Faraj Ibnu Qaddamah dalam kitabnya Asy-Syarhul-Kabirjilid 3/495 ; Syeikh Manshur bin Yunus Al-Bahuty dalam kitabnyaKisyaful-Qina (kitab ini sangat terkenal dikalangan madzhab Hanbali) jilid 5/30 dan Imam Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi jilid 5/265) yang mengemukakan peristiwa semakna tapi kalimatnya agak berbeda.

11. SAHABAT SWAD BIN QORIB BERTAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT :
Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasulallah saw. dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah saw. (Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i hal. 300)

12. PARA TABI'IN TAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD SAW YANG SUDAH WAFAT :
“Pada zaman Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. terjadi musim kemarau amat gersang. Seorang datang kemakam Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Ya Rasulallah, mohonkanlah hujan kepada Allah bagi ummat anda. Mereka banyak yang telah binasa’. Pada malam harinya orang itu mimpi didatangi Rasulallah saw. dan berkata kepadanya: ‘Datanglah engkau kepada ‘Umar dan sampaikan salamku kepadanya. Beritahukan dia bahwa mereka akan memperoleh hujan’. Katakan juga kepadanya: ‘Engkau harus bijaksana …bijaksana’ ! Kemudian orang itu segera menyampaikan berita mimpinya kepada Khalifah ‘Umar. Ketika itu ‘Umar berkata: ‘Ya Rabb (Ya Tuhanku), mereka mohon pertolongan-Mu karena aku memang tidak dapat berbuat sesuatu’ “.

Hadits itu isnadnya shohih. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah Wan-Nihayah jilid 1/91 mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 18 H. Ibnu Abi Syaibah juga mengetengahkan hadits itu dengan isnad shohih dari riwayat Abu Shalih As-Saman yang berasal dari Malik ad-Dariy, seorang bendaharawan (Khazin) pada zaman Khalifah Umar. Menurut Saif dalam kitabnya Al-Futuh orang yang mimpi didatangi Rasulallah saw. itu ialah sahabat Nabi saw. yang bernama Bilal bin Al-Harits Al-Muzny.Dalam kitab Fathul Bari jilid 11/415 Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits tersebut isnadnya shohih.

13. PERINTAH TAWASSUL KEPADA MAKHLUK YANG GAK KELIHATAN :
Sebuah riwayat dari ‘Abdullah bin Abbas ra. mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Banyak Malaikat Allah dimuka bumi selain yang bertugas mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka mencatat setiap lembar daun yang jatuh dari batangnya. Karena itu jika seorang diantara kalian tersesat ditengah sahara (atau tempat lainnya), hendaklah ia berseru: ‘Hai para hamba Allah tolonglah aku’ “. (HR.At-Thabrani dengan para perawi yang terpercaya).

‘Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan, bahwa Rasulallah saw. pernah bersabda: “Jika seorang diantara kalian ternak piaraannya terlepas ditengah sahara, hendaklah ia berseru: ’Hai para hamba Allah, tahanlah ternakku…hai para hamba Allah tahanlah ternakku’. Karena sesungguhnya Allah mempunyai makhluk (selain manusia) dimuka bumi yang siap memberi pertolongan”. (HR. Abu Ya’la dan At-Thabarani dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya, kecuali satu orang yang dipandang lemah yaitu Ma’ruf bin Hasan). Imam Nuruddin ‘Ali bin Abubakar Al-Haitsami juga mengetengahkan riwayat ini dalam Majma’uz-Zawaid Wa Manba’ul-Fuwa’id jilid X/132.

14. PARA ULAMA AHLI MEMBOLEHKAN TAWASSUL :

A. Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri pernah menyatakan:
“Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri madzhab Hanafi .red) dan men- datangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas mendatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan do’aku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdadjilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)

B. As-Samhudi yang bermadzhab Syafi’i menyatakan;
“Terkadang orang bertawassul kepadanya (Nabi saw.red) dengan meminta pertolongan berkait an suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa Rasulallah saw. memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafa’atnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan do’anya, walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala sese- orang meminta; ‘aku memohon kepadamu (wahai Rasulallah .red) untuk dapat menemanimu di sorga…’, tiada yang dikehendakinya melainkan bahwa Nabi saw. menjadi sebab dan pemberi syafa’at” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2 halaman 1374)

C. As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” :
 Mengatakan: “Dan bertawassul kepada Allah swt. melalui para nabi dan manusia sholeh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37)

D. Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh madzhab Hanbali pernah menyata- kan :
“Tiada perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburanMusa bin Ja’far (keturunan Rasulullah saw. yang kelima pen.) dan aku ber tawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagai- mana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).

E. Imam an-Nawawi dalam kitab ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab’ (Jilid: 5 Halaman: 68) :
Dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khattab telah memohon do’a hujan melalui Abbas (paman Rasulallah) dengan menyatakan: ‘Ya Allah, dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkan hujan bagi kami ’. Kemudian turunlah hujan”.(Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shohih).

F. Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 :
Menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan(sunah) untuk memohon hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait (keluarga) Nabi”.

G. Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) :
Menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutama- kannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.

Dalam kitab yang sama ini disebutkan bahwa Muawiyah telah memohon hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan: ‘Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat). ’ Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad’. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada di sekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing’.

H. IBNU TAIMIYAH MEMBOLEHKAN TAWASSUL :
Dahulu Rasulullah saw. mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah swt. dengan menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafa’atnya (Nabi) dengan mengatakan: “Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untuk ku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku”). (Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18)

I. IBNU TAIMIYAH MENSOHIHKAN HADITS SAHABAT BERTAWASSUL KEPADA NABI MUHAMMAD YANG SUDAH WAFAT :
Imam Mujahid meriwayatkan hadits dari Abdullah bin ‘Abbas sebagai berikut: “Seorang yang menderita penyakit kejang kaki datang kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. Kepadanya ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: ‘Sebutlah orang yang paling kau cintai !’ Orang itu lalu menyebut; ‘Muhammad saw’.! Seketika itu juga lenyaplah penyakitnya“. Ibnu Taimiyyah juga mengetengahkan riwayat ini dalam kitabnya Al-Kalimut-Thayyib bab 47 halaman 165.